Laman

Search This Blog

Postingan Populer

Perumpamaan Orang Musyrik dengan Sarang Laba-laba


Allah Subhanahu wa ta'ala membuat perumpamaan orang musyrik dengan sarang laba-laba dalam ayat:

"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat sarang. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah sarang laba-laba jika mereka mengetahui." (Qs. Al 'Ankabuut: 41)

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:

Allah Yang Maha Mulia menyebutkan bahwa mereka (para politeisme) lemah dan yang mereka ambil sebagai sekutu bahkan lebih lemah daripada mereka; dan mereka (para penyembah berhala) dalam kelemahannya, serta yang mereka cari dari menjadikan sesembahan (selain Allah) sebagai sekutu dan penyokong adalah seumpama laba-laba yang menjadikan rumahnya (sebagai sarang) yang merupakan rumah yang paling lemah. Berdasarkan perumpamaan ini, para penyembah berhala menjadi sangat lemah ketika mereka mencari sekutu dan penyokong selain Allah Subhanahu wa ta'ala dan tidak memperoeh apapun darinya kecuali menjadikan diri mereka semakin lemah, sebagaimana Allah Yang Maha Tinggi menyatakan dalam ayat:

"Dan mereka telah mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah, agar sesembahan-sesembahan itu menjadi pelindung bagi mereka, sekali-kali tidak. Kelak mereka (sesembahan-sesembahan) itu akan mengingkari penyembahan (pengikut-pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sesembahan-sesembahan) itu akan menjadi musuh bagi mereka." (Qs. Maryam : 81-82)

Kemudian dalam firman-Nya:
"Mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan. Berhala-berhala itu tiada dapat menolong mereka; padahal berhala-berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga mereka." (Qs. Yasin : 74-75)

Allah Ta'ala juga berfirman:
"Dan Kami tidak menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah manfaat sedikitpun kepada mereka sesembahan-sesembahan yang mereka seru selain Allah, diwaktu azab Tuhanmu datang. Dan sesembahan-sesembaha itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka." (Qs. Huud : 101)

Maka diatas adalah empat contoh dalam al-Qur'an yang menunjukkan bahwa seseorang yang mengambil sesembahan (yakni tuhan) selain Allah Subahanhu wa ta'ala, mencari kekuatan atau pertolongan dari mereka, tidaklah memperoleh apapun kecuali yang sebaliknya dari yang mereka cari.

Dalam al-Qur'an terdapat lebih banyak contoh mengenai hal ini dan yang di atas merupakan contoh terbaik dan paling jelas serta indikatif atas kesalahan total menyekutukan Allah Subhanahu wa ta'ala dengan yang lain (berbuat syirik). Kerugian bagi yang melakukan adalah mereka memperoleh hal yang sangat berlawanan dengan yang mereka harapkan.

Jika dikatakan bahwa mereka menyadari fakta sarang laba-laba adalah sarang yang paling lemah maka mengapa pengetahuan akan ini ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dengan berfirman, "Seanadainya mereka mengetahui?" Jawaban terhadap hal ini adalah Dia Yang Maha Tinggi tidak menegaskan mereka memiliki pengetahuan mereka akan lemahnya sarang laba-laba tetapi Dia menjelaskan bahwa mereka memiliki pengetahuan berkenaan mengambil pelindung (sekutu/bantuan) selain diri-Nya adalah seperti laba-laba mengambil sarangnya (sebagai jaringan pelindung), karena jika mereka mengetahui mereka tidak akan pernah melakukanya.

Akan tetapi mereka berpikir bahwa mereka mengambil pelindung selain-Nya akan menguntungkan mereka dalam hal kekuatan dan kekuasaan sementara pada kenyataannya situasi yang terjadi sangat berbeda dengan yang mereka harapkan. (Al-Amtsal Fi Al-Qur'an, Oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya:

"Ini merupakan perupaman yang Allah buat untuk orang-orang musyrik yang menjadikan selain Allah sebagai ilah (sesembahan) yang diharapkan mampu menolong, menganugerahkan rizki serta menjadi tambatan mereka saat mereka ditimpa bencana dan malapetaka. ilah-ilah palsu itu tak ubahnya bagaikan sarang laba-laba. Mereka sama-sama lemah, hina dan tidak berguna." (Tasir Ibnu Katsir Jilid 7 Hal. 45. Pustaka Ibnu Katsir)

Mengutarakan Pendapat Saat Khotbah Jumat

Apabila khatib telah naik mimbar, maka seluruh otoritas forum itu milik khatib. Artinya, hanya khatib yang punya wewenang untuk berbicara.



Seorang khatib bukan hanya sekedar menyampaikan khotbah, bahkan dia boleh menegur jamaah Jumat yang mengobrol atau melakukan kesalahan dalam beribadah. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah SAW ketika beliau menegur seorang sahabat yang masuk masjid langsung duduk tanpa salat sunah terlebih dahulu. Rasulullah menegurnya dengan, “Qum far ka’ rak’ataini!” (Berdirilah, lakukan salat sunah dua rakaat!). Jadi khatib boleh menegur saat ia sedang berkhotbah.

Sebaliknya apabila kita menjadi jamaah Jumat, maka tidak diperkenankan berbicara walau niatnya menegur orang yang mengobrol. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang berbicara kepada temannya pada saat khatib berkhotbah, 'Ssst,  jangan mengobrol!' maka sungguh orang itu telah rusak pahala Jumatnya”.  (HR. Bukhari dan Muslim).

Bagaimana kalau jamaah Jumat bertanya atau menginterupsi imam? Hal ini diperbolehkan, dengan merujuk pada kasus seorang sahabat bernama Abu Rifaah R.A. yang menginterupsi khotbah rasul karena dia menanyakan sesuatu yang tidak difahaminya. (Lihat  Shahih Bukhari No. 6167, Shahih Muslim No. 876 dan Nasai Jilid 8 No. 220).

Hukum dan Tata Cara Sholat Jamak Qoshor

Tata Cara Sholat Jamak dan Qoshor LENGKAP - Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Sehubungan masih banyaknya pertanyaan seputar Sholat Jamak dan Sholat Qashar, berikut saya share artikel tersebut. Semoga bisa sedikit membantu pertanyaan yang belum terjawab, silakan difahami baik-baik ya karena syariat itu penting :

I. PENGERTIAN SHOLAT JAMA'
Shalat yang digabungkan, yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu yang dilaksanakan dalam satu waktu. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur atau pada waktu Ashar. Shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib atau pada waktu Isya’.

Sedangkan Subuh tetap pada waktunya dan tidak boleh digabungkan dengan shalat lain. Shalat Jama' ini boleh dilaksankan karena bebrapa alasan (halangan) berikut ini :
a.       Dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat
b.       Apabila turun hujan lebat
c.       Karena sakit dan takut
d.       Jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni kurang lebihnya 81 km (begitulah yang disepakati oleh sebagian Imam Madzhab sebagaimana disebutkan dalam kitab AL-Fikih, Ala al Madzhabhib al Arba’ah, sebagaimana pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali).

Tetapi sebagian ulama lagi berpendapat bahwa jarak perjalanan (musafir) itu sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki atau dua marhalah, yaitu 16 (enam belas) Farsah, sama dengan 138 (seratus tiga puluh delapan) km.

Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya, baik musafir atau bukan dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa qashar shalat hanya disebabkan oleh safar (bepergian) dan tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak safar. Adapun jama’ shalat disebabkan adanya keperluan dan uzur. Apabila seseorang membutuhkannya (adanya suatu keperluan) maka dibolehkan baginya melakukan jama’ shalat dalam suatu perjalanan jarak jauh maupun dekat, demikian pula jama’ shalat juga disebabkan hujan atau sejenisnya, juga bagi seorang yang sedang sakit atau sejenisnya atau sebab-sebab lainnya karena tujuan dari itu semua adalah mengangkat kesulitan yang dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz XXII hal 293).

Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).

Berkata Imam Nawawi Rahimahullah : ”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab : ”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).

Shalat Jama' Dapat Dilaksanakan dengan 2 (dua) Cara :
1.      Jama' Taqdim (Jama' yang didahulukan) yaitu menjama' 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu shalat yang pertama. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Dzuhur atau shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib.

Syarat Sah Jama' Taqdim :
a.       Berniat menjama' shalat kedua pada shalat pertama
b.       Mendahulukan shalat pertama, baru disusul shalat kedua
c.       Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting
d.       Niat jama' yang dibarengkan dengan Takbiratul Ihram shalat yang pertama, misalnya Dhuhur.

2.      Jama' Ta’khir (Jamak yang diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu shalat yang kedua. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Ashar atau shalat Maghrib dan shalat Isya’ dilaksanakan pada waktu shalat Isya’.

Syarat Sah Jama' Ta’khir :
a.       Niat (melafazhkan pada shalat pertama) yaitu : ”Aku ta’khirkan shalat Dzuhurku diwaktu Ashar.”
b.       Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting.

Catatan :
Dalam Jama' ta’khir tidak disyaratkan mendahulukan shalat pertama atau shalat kedua. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar boleh mendahulukan Ashar baru Dzuhur atau sebaliknya. Muadz bin Jabal menerangkan bahwasanya Nabi SAW dipeperangan Tabuk, apabila telah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau kumpulkan antara Dzuhur dan Ashar dan apabila beliau ta’khirkan shalat Ashar. Dalam shalat Maghrib begitu juga, jika terbenam matahari sebelum berangkat, Nabi SAW mengumpulkan Maghrib dengan Isya’ jika beliau berangkat sebelum terbenam matahari beliau ta’khirkan Maghrib sehingga beliau singgah (berhenti) untuk Isya’ kemudian beliau menjama'kan antara keduanya.

HUKUM MENJAMA’ SHOLAT JUM’AT DENGAN ASHAR
Tidak diperbolehkan menjama’ antara shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan lain. Walaupun dia adalah orang yang diperbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.

Hal ini disebabkan tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).

Jadi kembali pada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain.(Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378).

HUKUM MUSAFIR SHALAT DIBELAKANG MUKIM
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat dibelakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu 4 raka’at, namun apabila ia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka’at). Hal ini didasarkan atas riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma. Berkata Musa bin Salamah : Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya :”Kami melakukan shalat 4 raka’at apabila bersama kamu (penduduk Makkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka’at?” Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma menjawab: “Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dengan sanad shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).

HUKUM MUSAFIR MENJADI IMAM MUKIM
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia meng-qashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (4 raka’at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Makkah, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata : “Sempurnakanlah shalatmu (4 raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu Dawud). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. (lihat Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).

Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat 4 raka’at (tidak meng-qashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu’akkadah dan bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).

HUKUM SHALAT JUM’AT BAGI MUSAFIR
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal disuatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat Jum’at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi’i, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al Majmu’ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370).

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat jum’at dalam safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama’ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal 73). Demikian pula para Khulafaur Rasyidin (4 khalifah) Radhiallahu Anhum dan para sahabat lainnya serta orang-orang yang setelah mereka, apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).

Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata : “Aku tinggal bersama dia (Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun meng-qashar shalat dan tidak shalat Jum’at.”

Sahabat Anas Radhiallahu Anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at.

Ibnul Mundzir Rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para ulama) yang berdasar hadist shahih dalam hal ini sehingga tidak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).

II. PENGERTIAN SHOLAT QASHAR
Shalat yang diringkas, yaitu shalat fardhu yang 4 (empat) rakat (Dzuhur, Ashar dan Isya’) dijadikan 2 (dua) rakaat, masing-masing dilaksanakan tetap pada waktunya. Sebagaimana menjamak shalat, meng-qashar shalat hukumnya sunnah. Dan ini merupakan rushah (keringanan) dari Allah SWT bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu.

Syarat Meng-qashar :
1.      Bepergian yang bukan untuk tujuan maksiat
2.      Jauh perjalanan minimal 88,5 km
3.      Shalat yang di-qashar adalah ada' (bukan qadla') yang empat rakaat.
4.      Tidak boleh bermakmum pada orang yang shalat sempurna (tidak di-qashar).

Perhatikan Hadist Nabi SAW :
”Rasulullah SAW tidak bepergian, melainkan mengerjakan shalat dua raka’at saja sehingga beliau kembali dari perjalanannya dan bahwasanya beliau telah bermukim di Mekkah di masa Fathul Mekkah selama delapan belas malam, beliau mengerjakan shalat dengan para Jama’ah dua raka’at kecuali shalat Maghrib. Kemudian bersabda Rasulullah SAW : ”Wahai penduduk Mekkah, bershalatlah kamu sekalian dua raka’at lagi, kami adalah orang-orang yang dalam perjalanan.” (HR. Abu Daud).

Sedangkan Cara Melaksanakan Shalat Qashar :
1.      Niat shalat qashar ketika takbiratul ihram.
2.      Mengerjakan shalat yang empat rakaat dilaksanakan dua rakaat kemudian salam.

Firman Allah SWT :
”Bila kamu mengadakan perjalanan dimuka bumi, tidaklah kamu berdosa jika kamu memendekkan shalat...” (QS. An-Nisa: 101).

Nabi SAW bersabda :
”Dari Ibnu Abbas R.A. ia berkata : ”Shalat itu difardhu-kan atau diwajibkan atas lidah Nabimu didalam hadlar (mukim) empat rakaat, didalam safar (perjalanan) dua rakaat dan didalam khauf (keadaan takut/perang) satu rakaat.” (HR. Muslim).

JARAK DIPERBOLEHKAN MENG-QASHAR SHOLAT
Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir baik safar dekat atau safar jauh, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari 80 km agar tidak terjadi kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).

Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya meng-qashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak ber-ijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang musafir diperbolehkan meng-qashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).

Berkata Ibnu Mundzir : “Aku tidak mengetahui (satu dalil-pun) bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam meng-qashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.”

Berkata Anas Radhiallahu ‘Anhu : “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah 4 raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).

III. SYARAT DAN KETENTUAN SHOLAT JAMAK QOSHOR
Salah satu rukhsah/keringanan yang Allah berikan kepada umat muslim adalah adanya kebolehan mengqashar (meringkas) shalat yang terdiri dari empat rakaat menjadi dua rakaat serta menjamak shalat dalam dua waktu dikerjkan dalam satu waktu.

Beberapa Ketentuan Sholat Qashar :
1.      Kebolehan qashar shalat hanya berlaku bagi musafir/orang dalam perjalanan yang jarak perjalanan yang ditempuh dipastikan mencapai 2 marhalah; 16 parsakh atau 48 mil.

Dalam menentukan berapa kadar 2 marhalah terjadi perbedaan pendapat yang tajam dikalangan para ulama. Sebagian kalangan berkesimpulan bahwa 2 marhalah adalah 138,24 km (ini berdasarkan analisa atas pendapat bahwa 1 mil 6.000 zira` san satu zira` 48 cm)
Pendapat lain berkesimpulan bahwa 2 marhalah adalah 86,4 km, pendapat ini berdasarkan kepada pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Abdil Bar bahwa kadar 1 mil adalah 3.500 zira`. 1 Zira` 48 cm. Selain itu ada juga beberapa pandangan yang lain.
Shafar/perjalanan yang dibolehkan qashar shalat adalah
Safar/perjalanan yang hukumnya mubah, sedangkan safar dengan tujuan untuk berbuat maksiat (ma`shiah bis safr) misalnya perjalanan dengan tujuan merampok, berjudi dll) tidak dibolehkan untuk mengqashar shalat. Baru dikatakan safar maksiat (ma`shiah bis safr) bila tujuan dari perjalanannya memang untuk berbuat maksiat, sedangkan bila tujuan dasar perjalanannya adalah hal yang mubah namun dalam perjalanan ia melakukan maksiat (ma`shiat fis safr)  maka safar yang demikian tidak dinamakan safar maksiat sehingga tetap berlaku baginya rukhsah qashar shalat dan rukhsah yag lain selama dalam perjalanan tersebut.
Perjalanannya tersebut harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga seorang yang berjalan tanpa arah tujuan yang jelas tidak dibolehkan qashar shalat.
Perjalanan tersebut memiliki maksud yang saheh dalam agama seperti berniaga dll.

2.      Telah melewati batasan daerahnya. Sedangkan apabila ia belum keluar dari kampungnya sendiri maka tidak dibolehkan baginya untuk jamak.

3.      Mengetahui boleh qashar
Seseorang yang melaksanakan qashar shalat sedangkan ia tidak mengetahui hal tersebut boleh maka shalatnya tidak sah.
Ketiga ketentuan diatas juga berlaku pada jamak shalat dalam safar/perjalanan.

4.      Shalat yang boleh diqashar hanya shalat 4 rakaat yang wajib pada asalnya. Adapun shalat sunat atau shalat yang wajib dengan sebab nazar tidak boleh diqashar. Sedangkan shalat luput boleh diqashar bila shalat tersebut tertinggal dalam safar/perjalanan yang membolehkan qashar, sedangkan shalat yang luput sebelum safar bila diqadha dalam masa safar maka tidak boleh diqashar. Demikian juga sebaliknya shalat yang luput dalam masa safar bila diqadha dalam masa telah habis safar maka tidak boleh diqashar.[1]

5.      Wajib berniat qashar ketika takbiratul ihram. Contoh lafadh niatnya adalah:
3.      اصلى فرض الظهر مقصورة
4.      “saya shalat fardhu dhuhur yang diqasharkan”

5.      Bila ia berniat qashar setelah takbiratul iharam maka tidak dibolehkan untuk qashar shalat.

6.      Tidak mengikuti orang yang mengerjakan shalat secara sempurna (4 rakaat) walaupun hanya sebentar. Bila ia sempat mengikuti imam yang mengerjkan shalat secara sempurna maka shalatnya mesti dilakukan secara sempurna pula (4 rakaat).
7.      Tidak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan niatnya mengqashar shalat, misalnya timbul niat dalam hatinya untuk mengerjkan shalat secara sempurna( 4 rakaat) atau timbul keragu-raguan dalam hatinya setelah ia berniat qashar apakah sebaiknya ia mengerjakan shalat secara sempurna atau ia qashar saja. Bila timbul hal demikian maka shalatnya wajib disempurnakan (4 rakaat). Demikian juga wajib mengerjakan shalat secara sempurna bila timbul karagu-raguan dalam hatinya tentang  niatnya apakah qashar ataupun shalat sempurna, walaupun dalam waktu cepat ia segera teringat bahwa niatnya adalah qashar.

8.      Selama dalam shalat ia harus masih berstatus sebagai musafir.
Apabila dalam shalatnya hilang statusnya sebagai musafir misalnya karena kendaraan yang ia tumpangi telah sampai ke daerah tujuannya, atau ia berniat bermukim didaerah tersebut maka shalatnya tersebut wajib disempurnakan.

Shalat Jamak
Ada dua macam shalat jamak, jamak taqdim dan jamak ta`khir.  Jamak  taqdim adalah mengerjakan kedua shalat dalam waktu pertama, misalnya shalat ashar dikerjakan dalam waktu dhuhur, atau shalat isya dikerjakan dalam waktu maghrib. Sedangkan Jamak ta`khir adalah sebaliknya yaitu mengerjakan kedua shalat yang dijamak dalam waktu kedua, misalnya shalat dhuhur dikerjakan bersamaan dengan Ashar dalam waktu Ashar dan shalat maghrib dikerjakan bersamaan dengan Isya dalam waktu Isya.
Dari beberapa syarat dan ketentuan shalat jamak ada ketentuan umum yang berlaku bagi jamak taqdim dan takhir dan ada pula beberapa ketentuan khusus bagi jamak taqdim saja atau bagi jamak takhir saja.
Ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku umum baik kepada jamak takhir dan kepada jamak taqdim adalah:
Jamak bagi musafir dibolehkan apabila jarak perjalanannya mencapai dua marhalah dengan ketentuan sebagaimana pada pembahasan masalah qashar shalat (ketentuan no. 1, no. 2 dan no. 3 pada qashar juga berlaku pada jamak)
Shalat yang boleh dijamak adalah shalat dhuhur dengan ashar dan shalat maghrib dengan Isya, kedua shalat tersebut juga boleh diqashar beserta jamak.
Adapun Beberapa Ketentuan Khusus Bagi Jamak Taqdim :
Niat jamak pada shalat pertama.Dalam shalat jamak taqdim, misalnya mengerjakan shalat dhuhur bersama ashar, ketika dalam shalat dhuhur wajib meniatkan bahwa shalat ashar dijamak dengan shalat dhuhur. Niat ini tidak diwajibkan harus dalam takbiratul ihram, tetapi boleh kapan saja selama masih dalam shalat bahkan boleh bersamaan dengan salam shalat dhuhur tersebut.
Tertib, dalam mengerjakan shalat jamak taqdim harus terlebih dahulu dikerjakan shalat yang awal, misalnya dalam jamak dhuhur dengan Ashar harus terlebih dahulu dikerjakan dhuhur.
Masih berstatus sebagai musafir hingga memulai shalat yang kedua
Meyakini sah shalat yang pertama.
Beriringan, antara kedua shalat tersebut harus dikerjakan secara beriringan. Kadar yang menjadi pemisah antara dua shalat tersebut adalah minimal kadar dua rakaat shalat yang ringan. Bila setelah shalat pertama diselangi waktu yang lebih dari kadar dua rakaat shalat ringan maka tidak dibolehkan lagi untuk menjamak shalat tersebut tetapi shalat kedua harus dikerjakan pada waktunya yang asli.
Bila ingin melaksakan shalat sunat rawatib maka terlebih dahulu shalat sunat qabliah dhuhur (misalnya menjamak maghrib dengan Isya) selanjutnya shalat fardhu Maghrib dan Isya kemudian shalat sunat ba`diyah Maghrib kemudian Qabliah Isya dan Ba`diyah Isya.

Ketentuan Khusus pada Jamak Ta'khir :
Niat jamak takhir dalam waktu shalat yang pertama. Dalam jamak takhir ketika kita amsih berada dalam waktu shalat pertama kita harus mengkasadkan bahwa shalat waktu tersebut akan kita jamak ke waktu selanjutnya. Batasan waktu shalat pertama yang dibolehkan untuk diqasadkan jamak adalah selama masih ada waktu kadar satu rakaat shalat.
Masih berstatus sebagai musafir hingga akhir shalat yang kedua.
Pada jamak takhir tidak disyaratkan harus tertib (boleh mengerjakan shalat dhuhur dulu atau ashar dulu pada masalah menjamak dhuhur dalam waktu ashar) serta tidak wajib beriringan/wila`, sehingga setelah mengerjakan shalat pertama boleh saja diselangi beberapa waktu kemudian baru shalat yang kedua.

Referensi :
Fathul Mu`in dan Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 2 hal 98-104 Cet. Tohaputra
Tanwir Qulub hal 172-175 cet. Hidayah
Sayyid Bakry Syatha, Hasyiah I`anatuth Thalibin, jilid 2 hal 99 Cet. Toha putra

SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENJAMAK QASHAR SHALAT
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali Rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu.

Al-Malikiyah & Al-Syafiiyah (3 Hari)

Dalil yang digunakan ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahih-nya bahwa Nabi saw menjadikan bagi para Muhajirin 3 hari untuk rukhshoh setelah mereka menunaikan hajinya.
لِلْمُهَاجِرِ إِقَامَةُ ثَلَاثٍ بَعْدَ الصَّدَرِ بِمَكَّةَ
"Untuk para muhajirin itu bermukim 3 hari di Mekkah setelah Shodr (menunaikan manasik)" (HR Muslim) 

Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Umm (1/215) menjelaskan maksud hadits ini, beliau katakan:
"mukimnya Muhajir di Mekkah itu 3 hari batasnya (sebagai musafir), maka jika melebihi itu, ia telah bermukim di Mekkah (jadi mukim yang tidak bisa dapat rukhshoh)"

Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam fathul-Baari (7/267) mengatakan bahwa istinbath hukum dari hadits Nabi tersebut adalah bahwa seorang musafir jika berniat singgah/tinggal di kota tujuan kurang dari 3 hari, ia masih berstatus sebagai musafir yang boleh jama' dan qashar sholat. Akan tetapi jika melebihi itu, tidak lagi disebut sebagai musafir.

Shalat-Shalat Sunnah


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka beruntung dan selamatlah dia. Namun, jika rusak, maka merugi dan celakalah dia. Jika dalam shalat wajibnya ada yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci dan Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Jika ia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian dihisablah seluruh amalan wajibnya sebagaimana tadi.” Dari Jabir, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian telah menunaikan shalat di masjidnya, maka hendaklah ia memberi jatah shalat bagi rumahnya. Karena sesungguhnya Allah menjadikan cahaya dalam rumahnya melalui shalatnya.” Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Kerjakanlah shalat (sunnah) di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat wajib.” Shalat sunnah ada dua bagian: Muthlaqah dan Muqayyadah Muthlaqah adalah yang dikenal dengan sunnah rawatib, yaitu yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib. Ia terdiri dari dua bagian: muakkadah (yang ditekankan) dan ghairu muakkadah (tidak ditekankan).

Shalat Sunnah Witir

Rabu, 9 Nopember 2011 17:04:59 WIB

Juga dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat malam sebanyak tiga belas raka’at. Beliau berwitir dengan lima raka’at dan tidak duduk kecuali pada raka’at terakhir.” Darinya juga, ia berkata, “Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudhu' untuk beliau. Lalu Allah membangunkan beliau pada malam hari sesuai dengan kehendak-Nya. Lalu beliau bersiwak dan berwudhu'. Kemudian beliau shalat sembilan raka’at. Beliau tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan. Beliau berdzikir kepada Allah, memuji, dan berdo’a kepada-Nya. Setelah itu bangkit dan tidak salam. Lalu beliau berdiri dan mengerjakan raka’at yang kesembilan. Kemudian beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah, memuji, dan berdo’a kepada-Nya. Lantas beliau mengucap salam dan memperdengarkannya kepada kami. Setelah itu beliau shalat dua raka’at sesudah salam sambil duduk. Itulah berjumlah sebelas raka’at, wahai anakku. Tatkala Nabiyyullah Shallallahu 'alaihi wa sallam semakin tua dan gemuk, beliau berwitir dengan tujuh raka’at. Lalu beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana yang pertama. Itu semua berjumlah sembilan raka’at, wahai anakku.”

Qiyamul Lail (Shalat Malam)

Rabu, 9 Nopember 2011 14:45:55 WIB

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Pada suatu malam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid. Lalu orang-orang shalat dengan shalat beliau. Pada malam berikutnya beliau shalat lagi dan orang-orang kian bertambah banyak. Mereka kemudian berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi tiba, beliau bersabda: ‘Aku melihat apa yang kalian perbuat. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian. Hanya saja aku takut jika shalat tersebut diwajibkan atas kalian.’ Saat itu pada bulan Ramadhan.” Dari ‘Abdurrahman al-Qari, ia berkata, “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menuju masjid. Ternyata orang-orang terpecah menjadi beberapa kelompok. Ada seorang laki-laki yang shalat sendirian, dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang. Lalu ‘Umar berkata, “Aku berpendapat, seandainya kukumpulkan mereka di bawah satu qari' (imam), tentulah akan lebih baik. Kemudian dia membulatkan tekadnya dan mengumpulkan mereka di bawah Ubay bin Ka'b. Pada suatu malam yang lain aku keluar bersamanya sedangkan orang-orang tengah shalat bersama imam mereka. ‘Umar berkata, ‘Ini adalah sebaik-baik bid’ah (perkara yang baru)

Shalat Dhuha (Shalat al-Awwaabiin), Shalat Setelah Bersuci (Shalat Sunnah Wudhu'), Shalat Istikharah

Selasa, 24 Januari 2006 17:55:08 WIB

Disunnahkan bagi yang sedang menghadapi suatu masalah agar beristikharah (meminta petunjuk) kepada Allah Ta'ala. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut: Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengajarkan kepada kami beristikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat dalam al-Qur-an: ‘Jika salah seorang di antara kalian menghadapi perkara, maka shalatlah dua raka’at, selain shalat wajib. Kemudian ucapkanlah: “Ya Allah, sesungguhnya aku minta petunjuk-Mu melalui ilmu-Mu. Aku memohon kekuatan dari-Mu melalui kekuatan-Mu. Aku memohon karunia-Mu yang agung. Karena Engkau-lah Yang Mahakuasa sedangkan aku tidak berdaya. Engkaulah Yang Mahatahu sedangkan aku tidak mengetahui. Engkaulah Yang Maha Mengetahui alam ghaib. Ya Allah, jika menurut-Mu perkara ini baik bagi agamaku, dunia, dan akhir kesudahanku -atau mengatakan: ‘Bagi dunia dan akhiratku.’- , maka takdirkanlah ia bagiku. Namun, jika menurut-Mu perkara ini buruk bagi agamaku, dunia, dan akhir kesudahanku -atau mengatakan: ‘Dunia dan akhiratku,’- maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah aku darinya. Takdirkanlah kebaikan bagiku, apa pun ia, kemudian jadikanlah aku ridha terhadapnya.”

Shalat Gerhana, Shalat Istisqa'

Kamis, 20 Oktober 2005 06:43:05 WIB

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat pada hari di mana terjadi gerhana matahari... kemudian dia menyebutkan tata cara shalat tersebut. Lalu melanjutkan, "Kemudian beliau salam, sedangkan matahari telah tampak kembali. Beliau lantas berkhutbah di hadapan orang-orang. Beliau mengatakan bahwa gerhana matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidaklah gerhana itu terjadi karena mati atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihatnya, maka bergegaslah untuk shalat." Dari Asma' Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh membebaskan budak pada saat terjadi gerhana matahari." Dari Abu Musa, dia berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari. Tiba-tiba Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri dengan terkejut. Beliau khawatir jika hari itu terjadi Kiamat. Beliau mendatangi masjid kemudian mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku', dan sujud yang terpanjang yang pernah aku lihat. Beliau lantas berkhutbah, “Ini adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan oleh-Nya. Bukan lantaran mati atau lahirnya seseorang. Namun, dengan peristiwa itu Allah ingin menakuti para hamba-Nya. Jika kalian melihat hal itu terjadi, maka bersegeralah untuk mengingat Allah, berdo’a, dan beristighfar kepada-Nya."

Sujud Tilawah

Kamis, 11 Agustus 2005 06:39:32 WIB

Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam al-Muhalla (V/106, V/105), “Dalam al-Qur-an terdapat empat belas ayat sajdah. Yang pertama pada akhir surat al-A'raf, kemudian ar-Ra'd, an-Nahl, Subhaana, kaf ha ya 'ain shad, awal al-Hajj, pada akhir-akhir surat ini tidak terdapat ayat Sajdah, al-Furqaan, an-Naml, alif lam mim tanzil, shad, ha mim fushshilat, akhir wan najm, idzassamaa-un syaqqat pada ayat: ‘لاَ يَسْجُدُوْنَ’ kemudian di akhir surat iqra' bismirabbikalladzi khalaq.” Ibnu Hazm melanjutkan, "Sujud ini tidaklah wajib, namun ia adalah keutamaan (sunnah). Sujud ini dilakukan saat shalat wajib dan sunnah. Juga pada selain shalat di setiap waktu, ketika matahari terbit, tenggelam, maupun saat pertengahan. Baik menghadap ke kiblat maupun tidak. Baik dalam keadaan suci ataupun tidak." Saya katakan, "Sujud ini dikatakan sebagai keutamaan, bukan kewajiban karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membaca ‘Wan Najm’ lalu sujud.


Sujud Sahwi

Sabtu, 12 Maret 2005 00:18:34 WIB

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah salam pada raka’at kedua. Lalu berkatalah Dzul Yadain, "Apakah engkau mengqashar shalat atau lupa, wahai Rasulullah?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, “Apakah benar yang dikatakan oleh Dzul Yadain?” Orang-orang menjawab, “Benar.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bangkit dan shalat dua raka’at lagi. Setelah itu beliau salam lalu bertakbir dan sujud sebagaimana sujudnya (dalam shalat), atau lebih panjang. Kemudian beliau bangun." Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Ashar. Kemudian beliau salam pada raka’at ketiga lalu masuk ke rumahnya. Seorang laki-laki yang dipanggil al-Khirbaq lalu mendatanginya. Dia memiliki tangan yang panjang. Lalu dia menyebutkan apa yang telah beliau lakukan. Beliau lantas keluar dengan marah sambil menyeret selendangnya hingga tiba di tempat orang-orang. Beliau bertanya, ‘Apakah benar yang dikatakan orang ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau shalat satu raka’at kemudian salam. Setelah itu beliau sujud dua kali lalu salam lagi.

Shalat Berjama'ah

Senin, 27 Desember 2004 13:59:05 WIB

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku bertekad untuk menyuruh seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh shalat dan diserukan untuknya. Kemudian kusuruh seorang laki-laki mengimami manusia. Setelah itu kudatangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama'ah dan kubakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Andai salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh sepotong daging gemuk dan dua kaki (daging) hewan berkuku belah yang baik, niscaya ia akan mendatangi shalat 'isya'." Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam didatangi seorang laki-laki buta. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mempunyai seorang pemandu yang menuntunku ke masjid.’ Kemudian dia meminta keringanan untuk shalat di rumahnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun memberinya keringanan. Ketika dia berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata, "Apakah engkau mendengar adzan shalat?" Dia berkata, "Ya." Beliau lantas berkata, "Kalau begitu datanglah (untuk shalat berjama’ah)."

Perintah Meringankan Shalat Bagi Imam

Sabtu, 18 Desember 2004 07:18:05 WIB

Dari Ibnu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu angu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Yang berhak mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafal al-Qur-an di antara mereka. Jika dalam bacaan sama, maka yang paling tahu tentang Sunnah. Jika dalam Sunnah sama, maka yang paling dahulu berhijrah. Jika dalam hijrah sama, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam kekuasaannya. Dan janganlah menduduki tempat duduk yang khusus di rumah orang itu kecuali dengan izinnya." Dalam hadits ini dijelaskan bahwa pemilik rumah, imam tetap, atau yang semisal mereka lebih berhak menjadi imam daripada yang selain mereka kecuali setelah diizinkan. Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam daerah kekuasaannya...”

Shalat Orang Yang Melakukan Safar

Senin, 25 Oktober 2004 22:01:29 WIB

Dari 'Umar Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Shalat dalam safar dua raka’at, shalat Jum’at dua raka’at, shalat Idul Fithri dan Idul Adh-ha dua raka’at. Sempurna, tidak diqashar. Berdasarkan ucapan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam." Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Pertama kali, shalat diwajibkan dua raka’at. Kemudian hal ini ditetapkan bagi shalat dalam keadaan safar. Sedangkan pada saat mukim dikerjakan secara lengkap (4 raka’at)."Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku pernah menemani perjalanan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Pernah juga aku menyertai perjalanan Abu Bakar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Aku pun pernah bepergian bersama 'Umar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Aku juga pernah safar bersama 'Utsman, dia tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya.

Shalat Jum’at

Selasa, 20 April 2004 08:35:55 WIB

"Barangsiapa merenungkan khutbah-khutbah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beserta para ٍSahabatnya, maka dia akan mendapatkan banyak pelajaran tentang petunjuk, tauhid, sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, pokok-pokok iman secara menyeluruh, dan dakwah ke jalan Allah. Begitupula nikmat-nikmat-Nya yang membuat para makhluk cinta kepada-Nya, juga hari pembalasan beserta adzab-adzab yang menakutkan. Terdapat juga perintah terhadap makhluk agar senantiasa berdzikir dan bersyukur kepada-Nya. Hal ini membuat mereka dicintai Allah. Sehingga mereka selalu ingat dengan keagungan Allah, sifat-sifat, dan asma'-Nya yang membuat-Nya cinta kepada para hamba-Nya. Lalu mereka pun diperintahkan agar taat, bersyukur, dan berdzikir. Hal ini membuat mereka cinta kepada-Nya. Setelah itu para pendengar akan pulang dengan perasaan cinta kepada Allah, dan Allah pun mencintai mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seringkali menyampaikan khutbah dengan al-Qur-an dan surat Qaaf." Ummu Hisyam binti al-Harits bin an-Nu'man Radhiyallahu anhu berkata, "Tidaklah aku menghafal surat Qaaf melainkan dari lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat menyampaikan khutbah dengan surat tersebut di atas mimbar."

Adab-Adab Pada Hari Jum’at

Sabtu, 10 April 2004 08:02:08 WIB

Dari Salman al-Farisi, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci dengan sebaik-baiknya. Setelah itu berminyak rambut atau memakai wangi-wangian dari rumahnya. Kemudian keluar (menuju masjid), tidak memisahkan antara dua orang, lalu shalat sunnah semampunya. Lantas diam ketika imam berkhutbah, melainkan diampuni dosanya antara Jum’at itu dan Jum’at yang lain." Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, mengenakan baju terbaiknya, dan mengenakan minyak wangi, jika ada. Kemudian menghadiri shalat Jum’at dan tidak melangkahi orang-orang. Setelah itu shalat semampunya lantas diam ketika imam keluar hingga selesai shalat. Maka itu semua adalah penghapus dosa antara Jum’at itu dan Jum’at sebelumnya." Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika hari Jum’at tiba, maka sepada tiap pintu-pintu masjid terdapat para Malaikat. Mereka mencatat orang-orang berdasarkan kedudukan mereka. Yang datang pertama mendapat kedudukan pertama. Jika imam duduk, maka mereka menutup lembar catatan dan masuk untuk mendengar dzikir (khutbah).

Shalat Dua Hari Raya

Senin, 29 Maret 2004 10:11:11 WIB

Shalat dua hari raya wajib bagi laki-laki dan perempuan. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa melaksanakannya serta memerintahkan orang-orang mendatanginya. Dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Kami diperintahkan untuk mengeluarkan para gadis dan wanita yang sedang dalam pingitan (untuk menghadiri shalat ‘Id)." Dari Hafshah binti Sirin, dia berkata, "Dahulu, ketika hari raya, kami pernah melarang gadis-gadis kami keluar. Kemudian datanglah seorang wanita yang singgah di istana Bani Khalaf.(*) Aku pun lantas mendatanginya. Dia bercerita bahwa suami saudarinya pernah ikut perang bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak dua belas kali peperangan. Saudarinya juga pernah menyertainya berperang sebanyak enam kali peperangan. Dia berkata,"Kami mengurusi orang-orang yang sakit dan mengobati orang-orang yang terluka." Dia berkata lagi,"Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bolehkah salah seorang di antara kami tidak keluar jika tidak memiliki jilbab?" Beliau bersabda, "Hendaklah saudarinya memakaikan jilbab kepadanya. Kemudian hendaklah mereka menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman."

Shalat Khauf

Rabu, 24 Maret 2004 09:51:10 WIB

Dari Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Aku pernah shalat khauf bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau membariskan kami dalam dua shaff. Satu shaff di belakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sementara musuh berada di antara kami dan kiblat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir, lalu kami semua bertakbir. Ketika beliau ruku', kami semua pun ruku', kemudian bangkit dari ruku’, kami pun melakukannya besama-sama. Kemudian beliau dan shaff terdepan menyungkur sujud. Sedangkan shaff terakhir tetap berdiri menghadap musuh. Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shaff terdepan selesai sujud lalu berdiri, shaff belakang pun sujud lalu berdiri. Kemudian shaff belakang maju ke depan dan shaff yang di depan mundur. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam ruku', dan kami semua pun ruku'. Dan ketika bangkit dari ruku’, kami pun bangkit bersama-sama. Kemudian beliau dan shaff pertama yang sebelumnya pada raka’at pertama berada di belakang, menyungkur sujud.

Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
 Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani Rahimahullah





1. MENGHADAP KA’BAH

1. Apabila anda – wahai Muslim – ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka’bah (qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini.

2. Ketentuan menghadap qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi ‘seorang yang sedang berperang’ pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat.

* Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia khawatir luputnya waktu.

* Juga tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan kepadanya – jika hal ini memungkinkan – supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap.
3. Wajib bagi yang melihat Ka’bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi yang tidak melihatnya maka ia menghadap ke arah Ka’bah.
HUKUM SHALAT TANPA MENGHADAP KA’BAH KARENA KELIRU

4. Apabila shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab lainnya sesudah melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi.
5. Apabila datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap ke arah yang ditunjukkan, dan shalatnya sah.
2. BERDIRI






6. Wajib bagi yang melakukan shalat untuk berdiri, dan ini adalah rukun, kecuali bagi :
* Orang yang shalat khauf saat perang berkecamuk dengan hebat, maka dibolehkan baginya shalat di atas kendaraannya.
Orang yang sakit yang tidak mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil duduk dan bila tidak mampu diperkenankan sambil berbaring.
* Orang yang shalat nafilah (sunnah) dibolehkan shalat di atas kendaraan atau sambil duduk jika dia mau, adapun ruku’ dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya, demikian pula orang yang sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.
7. Tidak boleh bagi orang yang shalat sambil duduk meletakkan sesuatu yang agak tinggi dihadapannya sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya -seperti yang kami sebutkan tadi- apabila ia tidak mampu meletakkan dahinya secara langsung ke bumi (lantai).
SHALAT DI KAPAL LAUT ATAU PESAWAT

8. Dibolehkan shalat fardlu di atas kapal laut demikian pula di pesawat.
9. Dibolehkan juga shalat di kapal laut atau pesawat sambil duduk bila khawatir akan jatuh.
10. Boleh juga saat berdiri bertumpu (memegang) pada tiang atau tongkat karena faktor ketuaan atau karena badan yang lemah.
SHALAT SAMBIL BERDIRI DAN DUDUK

11. Dibolehkan shalat lail (sholat malam-red) sambil berdiri atau sambil duduk meski tanpa udzur (penyebab apapun), atau sambil melakukan keduanya. Caranya; ia shalat membaca dalam keadaan duduk dan ketika menjelang ruku’ ia berdiri lalu membaca ayat-ayat yang masih tersisa dalam keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku’ lalu sujud. Kemudian ia melakukan hal yang sama pada rakaat yang kedua.

12. Apabila shalat dalam keadaan duduk, maka ia duduk bersila atau duduk dalam bentuk lain yang memungkinkan seseorang untuk beristirahat.

SHALAT SAMBIL MEMAKAI SANDAL

13. Boleh shalat tanpa memakai sandal dan boleh pula dengan memakai sandal.
14. Tapi yang lebih utama jika sekali waktu shalat sambil memakai sandal dan sekali waktu tidak memakai sandal, sesuai yang lebih gampang dilakukan saat itu, tidak membebani diri dengan harus memakainya dan tidak pula harus melepasnya. Bahkan jika kebetulan telanjang kaki maka shalat dengan kondisi seperti itu, dan bila kebetulan memakai sandal maka shalat sambil memakai sandal. Kecuali dalam kondisi tertentu (terpaksa).
15. Jika kedua sandal dilepas maka tidak boleh diletakkan di samping kanan akan tetapi diletakkan di samping kiri jika tidak ada di samping kirinya seseorang yang shalat, jika ada maka hendaklah diletakkan di depan kakinya, hal yang demikianlah yang sesuai dengan perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
SHALAT DI ATAS MIMBAR

16. Dibolehkan bagi imam untuk shalat di tempat yang tinggi seperti mimbar dengan tujuan mengajar manusia. Imam berdiri di atas mimbar lalu takbir, kemudian membaca dan ruku’ setelah itu turun sambil mundur sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah di depan mimbar, lalu kembali lagi ke atas mimbar dan melakukan hal yang serupa di rakaat berikutnya.
(tambahan-red)
Posisi Imam dan Makmum Dalam Sholat Berjamaah



KEWAJIBAN SHALAT MENGHADAP PEMBATAS (SUTROH) DAN MENDEKAT KEPADANYA

17. Wajib shalat menghadap tabir pembatas, dan tiada bedanya baik di masjid maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Janganlah shalat melainkan menghadap pembatas, dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu, apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya ia bersama pendampingnya”. (Maksudnya syaitan).
18. Wajib mendekat ke pembatas karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu.
19. Jarak antara tempat sujud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tembok yang dihadapinya seukuran tempat lewat domba. maka barang siapa yang mengamalkan hal itu berarti ia telah mengamalkan batas ukuran yang diwajibkan.
KADAR KETINGGIAN PEMBATAS

20. Wajib pembatas dibuat agak tinggi dari tanah sekadar sejengkal atau dua jengkal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jika seorang diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat di balik pembatas”.
21. Dan ia menghadap ke pembatas secara langsung, karena hal itu yang termuat dalam konteks hadits tentang perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun bergeser dari posisi pembatas ke kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus menghadap langsung ke pembatas maka hal ini tidak sah.
22. Boleh shalat menghadap tongkat yang ditancapkan ke tanah atau yang sepertinya, boleh pula menghadap pohon, tiang, atau isteri yang berbaring di pembaringan sambil berselimut, boleh pula menghadap hewan meskipun unta.
HARAM SHALAT MENGHADAP KE KUBUR

23. Tidak boleh shalat menghadap ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi maupun selain nabi.
HARAM LEWAT DI DEPAN ORANG YANG SHALAT TERMASUK DI MASJID HARAM

24. Tidak boleh lewat di depan orang yang sedang shalat jika di depannya tidak ada pembatas, dalam hal ini tidak ada perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid lain, semua sama dalam hal larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Andaikan orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui akibat perbuatannya maka untuk berdiri selama 40, lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat”. Maksudnya lewat di antara shalat dengan tempat sujudnya.
KEWAJIBAN ORANG YANG SHALAT MENCEGAH ORANG LEWAT DI DEPANNYA MESKIPUN DI MASJID HARAM

25. Tidak boleh bagi orang yang shalat menghadap pembatas membiarkan seseorang lewat di depannya berdasarkan hadits yang telah lalu.
“Artinya : Dan janganlah membiarkan seseorang lewat di depanmu …”.
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jika seseorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu pembatas yang menghalanginya dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat di depannya, maka hendaklah ia mendorong leher orang yang ingin lewat itu semampunya (dalam riwayat lain : cegahlah dua kali) jika ia enggan maka perangilah karena ia adalah syaithan”.
BERJALAN KE DEPAN UNTUK MENCEGAH ORANG LEWAT

26. Boleh maju selangkah atau lebih untuk mencegah yang bukan mukallaf yang lewat di depannya seperti hewan atau anak kecil agar tidak lewat di depannya.
HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN SHALAT

27. Di antara fungsi pembatas dalam shalat adalah menjaga orang yang shalat menghadapnya dari kerusakan shalat disebabkan yang lewat di depannya, berbeda dengan yang tidak memakai pembatas, shalatnya bisa terputus bila lewat di depannya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam.
3. NIAT

28. Bagi yang akan shalat harus meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta menentukan niat dengan hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur dan ashar. Niat ini merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat dengan lisan maka ini merupakan bid’ah, menyalahi sunnah, dan tidak ada seorangpun yang menfatwakan hal itu di antara para ulama yang ditokohkan oleh orang-orang yang suka taqlid (fanatik buta).
4. TAKBIR

29. Kemudian memulai shalat dengan membaca. “Allahu Akbar” (Artinya : Allah Maha Besar). Takbir ini merupakan rukun, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Pembuka Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir, sedangkan penghalalannya adalah salam”.
30. Tidak boleh mengeraskan suara saat takbir di semua shalat, kecuali jika menjadi imam.
31. Boleh bagi muadzin menyampaikan (memperdengarkan) takbir imam kepada jama’ah jika keadaan menghendaki, seperti jika imam sakit, suaranya lemah atau karena banyaknya orang yang shalat.
32. Ma’mum tidak boleh takbir kecuali jika imam telah selesai takbir.
MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA

















33. Mengangkat kedua tangan, boleh bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya, bahkan boleh sesudah takbir. Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


34. Mengangkat tangan dengan jari-jari terbuka.
35. Mensejajarkan kedua telapak tangan dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu mengangkat lebih tinggi lagi sampai sejajar dengan ujung telinga.
MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA

36. Kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sesudah takbir, ini merupakan sunnah (ajaran) para nabi-nabi Alaihimus Shallatu was sallam dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau, sehingga tidak boleh menjulurkannya.
37. Meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan di atas pergelangan dan lengan.
38. Kadang-kadang menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan.
TEMPAT MELETAKKAN TANGAN














 39. Keduanya diletakkan di atas dada saja. Laki-laki dan perempuan dalam hal tersebut sama.

40. Tidak meletakkan tangan kanan di atas pinggang.
KHUSU’ DAN MELIHAT KE TEMPAT SUJUD

41. Hendaklah berlaku khusu’ dalam shalat dan menjauhi segala sesuatu yang dapat melalaikan dari khusu’ seperti perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat berhadapan dengan hidangan yang menarik, demikian juga saat menahan berak dan kencing.
42. Memandang ke tempat sujud saat berdiri.
43. Tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, karena menoleh adalah curian yang dilakukan oleh syaitan dari shalat seorang hamba.
44. Tidak boleh mengarahkan pandangan ke langit (ke atas).
DO’A ISTIFTAAH (PEMBUKAAN)

45. Kemudian membuka bacaan dengan sebagian do’a-do’a yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya banyak, yang masyhur diantaranya ialah :
“Subhaanaka Allahumma wa bihamdika, wa tabaarakasmuka, wa ta’alaa jadduka, walaa ilaha ghaiyruka”.
“Artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, kedudukan-Mu sangat agung, dan tidak ada sembahan yang hak selain Engkau”.
Perintah ber-istiftah telah sah dari Nabi, maka sepatutnya diperhatikan untuk diamalkan.
(Tambahan-red) do’a istiftah yang lain :
“ALLAHUUMMA BA’ID BAINII WA BAINA KHATHAAYAAYA KAMAA BAA’ADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIBI, ALLAAHUMMA NAQQINII MIN KHATHAAYAAYA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS. ALLAAHUMMAGHSILNII MIN KHATHAAYAAYA BIL MAA’I WATS TSALJI WAL BARADI”
artinya:
“Ya, Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya, Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya, Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah).
Atau kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membaca dalam sholat fardhu:

“WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA HANIIFAN [MUSLIMAN] WA MAA ANA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLATII WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAHI RABBIL ‘ALAMIIN. LAA SYARIIKALAHU WABIDZALIKA UMIRTU WA ANA AWWALUL MUSLIMIIN. ALLAHUMMA ANTAL MALIKU, LAA ILAAHA ILLA ANTA [SUBHAANAKA WA BIHAMDIKA] ANTA RABBII WA ANA ‘ABDUKA, DHALAMTU NAFSII, WA’TARAFTU BIDZAMBI, FAGHFIRLII DZAMBI JAMII’AN, INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA. WAHDINII LI AHSANIL AKHLAAQI LAA YAHDII LI AHSANIHAA ILLA ANTA, WASHRIF ‘ANNII SAYYI-AHAA LAA YASHRIFU ‘ANNII SAYYI-AHAA ILLA ANTA LABBAIKA WA SA’DAIKA, WAL KHAIRU KULLUHU FII YADAIKA. WASY SYARRULAISA ILAIKA. [WAL MAHDIYYU MAN HADAITA]. ANA BIKA WA ILAIKA [LAA MANJAA WALAA MALJA-A MINKA ILLA ILAIKA. TABAARAKTA WA TA’AALAITA ASTAGHFIRUKA WAATUUBU ILAIKA”
yang artinya:
“Aku hadapkan wajahku kepada Pencipta seluruh langit dan bumi dengan penuh kepasrahan dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya. Demikianlah aku diperintah dan aku termasuk orang yang pertama-tama menjadi muslim. Ya Allah, Engkaulah Penguasa, tiada Ilah selain Engkau semata-mata. [Engkau Mahasuci dan Mahaterpuji], Engkaulah Rabbku dan aku hamba-Mu, aku telah menganiaya diriku dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah semua dosaku. Sesungguhnya hanya Engkaulah yang berhak mengampuni semua dosa. Berilah aku petunjuk kepada akhlaq yang paling baik, karena hanya Engkaulah yang dapat memberi petunjuk kepada akhlaq yang terbaik dan jauhkanlah diriku dari akhlaq buruk. Aku jawab seruan-Mu, sedang segala keburukan tidak datang dari-Mu. [Orang yang terpimpin adalah orang yang Engkau beri petunjuk]. Aku berada dalam kekuasaan-Mu dan akan kembali kepada-Mu, [tiada tempat memohon keselamatan dan perlindungan dari siksa-Mu kecuali hanya Engkau semata]. Engkau Mahamulia dan Mahatinggi, aku mohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
(Hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah)
5. QIRAAH (BACAAN)

46. Kemudian wajib berlindung kepada Allah Ta’ala, dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa.
47. Termasuk sunnah jika sewaktu-waktu membaca.



“A’UUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMAZIHI WA NAFKHIHI WANAFTSIHI”
artinya:
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq).”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
48. Dan sewaktu-waktu membaca tambahan.

“A’UUZUBILLAHIS SAMII’IL ALIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMAZIHI WA NAFKHIHI WANAFTSIHI”
artinya:
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk…”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad hasan).
49. Kemudian membaca basmalah (bismillah) di semua shalat secara sirr (tidak diperdengarkan).
MEMBACA AL-FAATIHAH

50. Kemudian membaca surat Al-Fatihah, ini adalah rukun shalat dimana shalat tak sah jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib bagi orang-orang ‘Ajm (non Arab) untuk menghafalnya.
BACAAN MA’MUM

51 Wajib bagi ma’mum membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca sirr (tidak terdengar) atau saat imam membaca keras tapi ma’mum tidak mendengar bacaan imam, demikian pula ma’mum membaca Al-Fatihah bila imam berhenti sebentar untuk memberi kesempatan bagi ma’mum yang membacanya. Meskipun kami menganggap bahwa berhentinya imam di tempat ini tidak tsabit dari sunnah.
BACAAN SESUDAH AL-FATIHAH

52 Disunnahkan sesudah membaca Al-Fatihah, membaca surat yang lain atau beberapa ayat pada dua raka’at yang pertama.
53 Kadang-kadang bacaan sesudah Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula diringkas karena ada faktor-faktor tertentu seperti safar (bepergian), batuk, sakit, atau karena tangisan anak kecil.
54 Panjang pendeknya bacaan berbeda-beda sesuai dengan shalat yang dilaksanakan. Bacaan pada shalat subuh lebih panjang daripada bacaan shalat fardhu yang lain, setelah itu bacaan pada shalat dzuhur, pada shalat ashar, lalu bacaan pada shalat isya, sedangkan bacaan pada shalat maghrib umumnya diperpendek.
55. Adapun bacaan pada shalat lail lebih panjang dari semua itu.
56. Sunnah membaca lebih panjang pada rakaat pertama dari rakaat yang kedua.
57Memendekkan dua rakaat terakhir kira-kira setengah dari dua rakaat yang pertama.
58 Membaca Al Fatihah pada semua rekaat.
59. Tidak boleh imam memanjangkan bacaan melebihi dari apa yang disebutkan di dalam sunnah karena yang demikian bisa-bisa memberatkan ma’mum yang tidak mampu seperti orang tua, orang sakit, wanita yang mempunyai anak kecil dan orang yang mempunyai keperluan.
MENGERASKAN DAN MENGECILKAN BACAAN

60. Bacaan dikeraskan pada shalat shubuh, jum’at, dua shalat ied, shalat istisqa, khusuf dan dua rakaat pertama dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak dikeraskan) pada shalat dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua rakaat terakhir dari shalat isya.
MEMBACA AL-QUR’AN DENGAN TARTIL

61. Sunnah membaca Al-Qur’an secara tartil (sesuai dengan hukum tajwid) tidak terlalu dipanjangkan dan tidak pula terburu-buru, bahkan dibaca secara jelas huruf perhuruf. Sunnah pula menghiasi Al-Qur’an dengan suara serta melagukannya sesuai batas-batas hukum oleh ulama ilmu tajwid. Tidak boleh melagukan Al-Qur’an seperti perbuatan Ahli Bid’ah dan tidak boleh pula seperti nada-nada musik.
62. Disyari’atkan bagi ma’mum untuk membetulkan bacaan imam jika keliru.
6. RUKU’

63. Bila selesai membaca, maka diam sebentar menarik nafas agar bisa teratur.
64. Kemudian mengangkat kedua tangan seperti yang telah dijelaskan terdahulu pada takbiratul ihram.
65. Dan takbir, hukumnya adalah wajib.
66. Lalu ruku’ sedapatnya agar persendian bisa menempati posisinya dan setiap anggota badan mengambil tempatnya. Adapun ruku’ adalah rukun.
CARA RUKU’








67. Meletakkan kedua tangan di atas lutut dengan sebaik-baiknya, lalu merenggangkan jari-jari seolah-olah menggenggam kedua lutut. Semua itu hukumnya wajib.
68. Mensejajarkan punggung dan meluruskannya, sehingga jika kita menaruh air di punggungnya tidak akan tumpah. Hal ini wajib.
69. Tidak merendahkan kepala dan tidak pula mengangkatnya tapi disejajarkan dengan punggung.
70. Merenggangkan kedua siku dari badan.
71. Mengucapkan saat ruku’.






“Subhaana rabbiiyal ‘adhiim”.
“Artinya : Segala puji bagi Allah yang Maha Agung”. tiga kali atau lebih.
MENYAMAKAN PANJANGNYA RUKUN

72. Termasuk sunnah untuk menyamakan panjangnya rukun, diusahakan antara ruku’ berdiri dan sesudah ruku’, dan duduk diantara dua sujud hampir sama.
73. Tidak boleh membaca Al-Qur’an saat ruku’ dan sujud.
I’TIDAL SESUDAH RUKU’

74. Mengangkat punggung dari ruku’ dan ini adalah rukun.
75. Dan saat i’tidal mengucapkan .






“Syami’allahu-liman hamidah”.
“Artinya : Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya”. adapun hukumnya wajib.
76. Mengangkat kedua tangan saat i’tidal seperti dijelaskan terdahulu.
77. Lalu berdiri dengan tegak dan tenang sampai seluruh tulang menempati posisinya. Ini termasuk rukun.
78. Mengucapkan saat berdiri.





“Rabbanaa wa lakal hamdu”


“Artinya : Ya tuhan kami bagi-Mu-lah segala puji”. Hukumnya adalah wajib bagi setiap orang yang shalat meskipun sebagai imam, karena ini adalah wirid saat berdiri, sedang tasmi (ucapan Sami’allahu liman hamidah) adalah wirid i’tidal (saat bangkit dari ruku’ sampai tegak).
79. Menyamakan panjang antara rukun ini dengan ruku’ seperti dijelaskan terdahulu.
7. SUJUD

80. Lalu mengucapkan “Allahu Akbar” dan ini wajib.
TURUN DENGAN KEDUA TANGAN

 81. Lalu turun untuk sujud dengan kedua tangan diletakkan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, demikianlah yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tsabit dari perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menyerupai cara berlututnya unta yang turun dengan kedua lututnya yang terdapat di kaki depan.







82. Apabila sujud -dan ini adalah rukun- bertumpu pada kedua telapak tangan serta melebarkannya.
83. Merapatkan jari jemari.






84. Lalu menghadapkan ke kiblat.
85. Merapatkan kedua tangan sejajar dengan bahu.
86. Kadang-kadang meletakkan keduanya sejajar dengan telinga.
87. Mengangkat kedua lengan dari lantai dan tidak meletakkannya seperti cara anjing. Hukumnya adalah wajib.
88. Menempelkan hidung dan dahi ke lantai, ini termasuk rukun.
89. Menempelkan kedua lutut ke lantai.
90. Demikian pula ujung-ujung jari kaki.
91. Menegakkan kedua kaki, dan semua ini adalah wajib.

92. Menghadapkan ujung-ujung jari ke qiblat.

93. Meletakkan/merapatkan kedua mata kaki.
BERLAKU TEGAK KETIKA SUJUD

94. Wajib berlaku tegak ketika sujud, yaitu tertumpu dengan seimbang pada semua anggota sujud yang terdiri dari : Dahi termasuk hidung, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki.
95. Barangsiapa sujud seperti itu berarti telah thuma’ninah, sedangkan thuma’ninah ketika sujud termasuk rukun juga.
96. Mengucapkan ketika sujud.






“Subhaana rabbiyal ‘alaa”
“Artinya : Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi” diucapkan tiga kali atau lebih.
97. Disukai untuk memperbanyak do’a saat sujud, karena saat itu do’a banyak dikabulkan.
98. Menjadikan sujud sama panjang dengan ruku’ seperti diterangkan terdahulu.
99. Boleh sujud langsung di tanah, boleh pula dengan pengalas seperti kain, permadani, tikar dan sebagainya.
100. Tidak boleh membaca Al-Qur’an saat sujud.
IFTIRASY DAN IQ’A KETIKA DUDUK ANTARA DUA SUJUD







101. Kemudian mengangkat kepala sambil takbir, dan hukumnya adalah wajib.
102. Lalu duduk dengan tenang sehingga semua tulang kembali ke tempatnya masing-masing, dan ini adalah rukun.
103. Melipat kaki kiri dan mendudukinya. Hukumnya wajib.
104. Menegakkan kaki kanan (sifat duduk seperti No. 103 dan 104 ini disebut Iftirasy).
105. Menghadapkan jari-jari kaki ke kiblat.
106. Boleh iq’a sewaktu-waktu, yaitu duduk di atas kedua tumit.
107. Mengucapkan pada waktu duduk.



“Allahummagfirlii, warhamnii’ wajburnii’, warfa’nii’, wa ‘aafinii, warjuqnii”.
“Artinya : Ya Allah ampunilah aku, syangilah aku, tutuplah kekuranganku, angkatlah derajatku, dan berilah aku afiat dan rezeki”.
108. Dapat pula mengucapkan.




“Rabbigfirlii, Rabbigfilii”.
“Artinya : Ya Allah ampunilah aku, ampunilah aku”.
109. Memperpanjang duduk sampai mendekati lama sujud.
SUJUD KEDUA

110. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib.
111. Lalu sujud yang kedua, ini termasuk rukun juga.
112. Melakukan pada sujud ini apa-apa yang dilakukan pada sujud pertama.
DUDUK ISTIRAHAT

113. Setelah mengangkat kepala dari sujud kedua, dan ingin bangkit ke rakaat yang kedua wajib takbir.
114. Duduk sebentar di atas kaki kiri seperti duduk iftirasy sebelum bangkit berdiri, sekadar selurus tulang menempati tempatnya.
RAKAAT KEDUA

115. Kemudian bangkit raka’at kedua -ini termasuk rukun- sambil menekan ke lantai dengan kedua tangan yang terkepal seperti tukang tepung mengepal kedua tangannya.
116. Melakukan pada raka’at yang kedua seperti apa yang dilakukan pada rakaat pertama.
117. Akan tetapi tidak membaca pada raka’at yang kedua ini do’a iftitah.
118. Memendekkan raka’at kedua dari raka’at yang pertama.
DUDUK TASYAHUD

119. Setelah selesai dari raka’at kedua duduk untuk tasyahud, hukumnya wajib.
120. Duduk iftirasy seperti diterangkan pada duduk diantara dua sujud.
121. Tapi tidak boleh iq’a di tempat ini.
122. Meletakkan tangan kanan sampai siku di atas paha dan lutut kanan, tidak diletakkan jauh darinya.
123. Membentangkan tangan kiri di atas paha dan lutut kiri.
124. Tidak boleh duduk sambil bertumpu pada tangan, khususnya tangan yang kiri.
MENGGERAKKAN TELUNJUK DAN MEMANDANGNYA














125. Menggenggam jari-jari tangan kanan seluruhnya, dan sewaktu-waktu meletakkan ibu jari di atas jari tengah.
126. Kadang-kadang membuat lingkaran ibu jari dengan jari tengah.
127. Mengisyaratkan jari telunjuk ke qiblat.
128. Dan melihat pada telunjuk.
129. Menggerakkan telunjuk sambil berdo’a dari awal tasyahud sampai akhir.
130. Tidak boleh mengisyaratkan dengan jari tangan kiri.
131. Melakukan semua ini di semua tasyahud.
UCAPAN TASYAHUD DAN DO’A SESUDAHNYA

132. Tasyahud adalah wajib, jika lupa harus sujud sahwi.
133. Membaca tasyahud dengan sir (tidak dikeraskan).
134. Dan lafadznya :





“At-tahiyyaatu lillah washalawaatu wat-thayyibat, assalamu ‘alan – nabiyyi warrahmatullahi wabarakaatuh, assalaamu ‘alaiynaa wa’alaa ‘ibaadil-llahis-shaalihiin, asyhadu alaa ilaaha illallah, asyhadu anna muhamaddan ‘abduhu warasuuluh”.
“Artinya : Segala penghormatan bagi Allah, shalawat dan kebaikan serta keselamatan atas Nabi dan rahmat Allah serta berkat-Nya. Keselamatan atas kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba dan rasul-Nya”.
135. Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengucapkan :




“ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA SHALLAITA ‘ALAA AALI IBRAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID. ALLAAHUMMA BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BARAKTA ‘ALAA AALI IBRAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID.”
artinya: “Ya Allah berikanlah Shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada keluarga Ibarahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.”
136. Dapat juga diringkas sebagai berikut : “Allahumma shalli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa ali muhammad, wabaarik ‘alaa muhammadiw wa’alaa ali muhammadin kamaa shallaiyta wabaarikta ‘alaa ibraahiim wa’alaa ali ibraahiim, innaka hamiidum majiid”.
“Artinya : Ya Allah bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana engkau bershalawat dan memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Terpuji dan Mulia”.
137. Kemudian memilih salah satu do’a yang disebutkan dalam kitab dan sunnah yang paling disenangi lalu berdo’a kepada Allah dengannya.
(tambahan-red) Dari Abu Hurairah berkata; berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila kamu telah selesai bertasyahhud maka hendaklah berlindung kepada Allah dari empat (4) hal, dia berkata:









“ALLAAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAMA WA MIN ‘ADZAABIL QABRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WA MIN FITNATIL MASIIHID DAJJAAL.”
artinya: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam, siksa kubur, fitnahnya hidup dan mati serta fitnahnya Al-Masiihid Dajjaal.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim dengan lafadhz Muslim)
RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT

138. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib. Dan sunnah bertakbir dalam keadaan duduk.
139. Kemudian bangkit ke raka’at ketiga, ini adalah rukun seperti sebelumnya.
140. Seperti itu pula yang dilakukan bila ingin bangkit ke raka’at yang ke empat.
141. Akan tetapi sebelum bangkit berdiri, duduk sebentar di atas kaki yang kiri (duduk iftirasy) sampai semua tulang menempati tempatnya.
142. Kemudian berdiri sambil bertumpu pada kedua tangan sebagaimana yang dilakukan ketika berdiri ke rakaat kedua.
143. Kemudian membaca pada raka’at ketiga dan keempat surat Al-Fatihah yang merupakan satu kewajiban.
144. Kemudian ruku’ dan bersujud dua kali seperti terdahulu.
TASYAHUD AKHIR DAN DUDUK TAWARUK














145. Kemudian duduk untuk tasyahud akhir, keduanya adalah wajib.

146. Melakukan pada tasyahud akhir apa yang dilakukan pada tasyahud awal.
147. Selain duduk di sini dengan cara tawaruk yaitu meletakkan pangkal paha kiri ke tanah dan mengeluarkan kedua kaki dari satu arah dan menjadikan kaki kiri ke bawah betis kanan.
148. Menegakkan kaki kanan.
149. Menutup lutut kiri dengan tangan kiri yang bertumpu padanya.
KEWAJIBAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DAN BERLINDUNG DARI EMPAT PERKARA

150. Wajib pada tasyahud akhir bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana lafadz-lafadznya yang telah kami sebutkan pada tasyahud awal.
151. Kemudian berlindung kepada Allah dari empat perkara, dan mengucapkan : “Allahumma inii a’uwdzubika min ‘adzaabi jahannam, wa min ‘adzaabil qabri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min tsarri fitnatil masyihid dajjal”.
“Artinya : Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa Jahannam dan dari siksa kubur, dan dari fitnah orang yang hidup dan orang yang mati serta dari keburukan fitnah masih ad-dajjal”.
BERDO’A SEBELUM SALAM

152. Kemudian berdo’a untuk dirinya dengan do’a yang nampak baginya dari do’a-do’a tsabit dalam kitab dan sunnah, dan do’a ini sangat banyak dan baik. Apabila dia tidak menghafal satupun dari do’a-do’a tersebut maka diperbolehkan berdo’a dengan apa yang mudah baginya dan bermanfaat bagi agama dan dunianya.
SALAM DAN MACAM-MACAMNYA

153. Memberi salam ke arah kanan sampai terlihat putih pipinya yang kanan, hal ini adalah rukun.
154. Dan ke arah kiri sampai terlihat putih pipinya yang kiri.
155. Imam mengeraskan suaranya ketika salam.
156. Macam-macam cara salam.
* Pertama mengucapkan



“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu” ke arah kanan dan mengucapkan “Assalamu’alaikum warahmatullah” ke arah kiri.

* Kedua : Seperti di atas tanpa (Wabarakatuh).







* Ketiga mengucapkan




“Assalamu’alaikum warahmatullahi” ke arah kanan dan “Assalamu’alaikum” ke arah kiri.

* Keempat : Memberi salam dengan satu kali ke depan dengan sedikit miring ke arah kanan.
PENUTUP

Saudaraku seagama.
Inilah yang terjangkau bagiku dalam meringkas sifat shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu usaha untuk mendekatkannya kepadamu sehingga engkau mendapatkan satu kejelasan, tergambar dalam benakmu, seakan-akan engkau melihatnya dengan kedua belah matamu. Apabila engkau melaksanakan shalatmu sebagaimana yang aku sifatkan kepadamu tentang shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku mengharapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menerima shalatmu, karena engkau telah melaksanakan satu perbuatan yang sesuai dengan perkataan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.
Setelah itu satu hal jangan engkau lupakan, agar engkau menghadirkan hatimu dan khusyu’ ketika melakukan shalat, karena itu tujuan utama berdirinya sang hamba di hadapan Allah Subahanahu wa Ta’ala, dan sesuai dengan kemampuan yang ada padamu dari apa yang aku sifatkan tentang kekhusu’an serta mengikuti cara shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga engkau mendapatkan hasil diharapkan sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan firman-Nya.
“Artinya : Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar”.

Akhirnya. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menerima shalat kita dan amal kita secara keseluruhan, dan menyimpan pahala shalat kita sampai kita bertemu dengan-Nya. “Di hari tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang dengan hati yang suci”. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.