Laman

Search This Blog

Postingan Populer

Andai dalam ISLAM

Sering kali kita mengucapkan kata andai atau kalau bahasa jawa mbok mau ora ngene apa mbok mau ora ngono. Ucapan ‘andai‘ atau sikap berandai-andai memiliki beberapa bentuk penggunaan. dan masing-masing penggunaan memiliki hukum yang berbeda-beda. Berikut penjelasannya:

Pertama, Pengandaian karena memprotes syariat. Dalam hal ini ulama sepakat hukumnya haram.

Misal: seseorang mengatakan; andai berjudi itu halal, tentu aku bisa dapat untung besar. Dia ucapkan semacam ini karena melihat club sepakbola jagoannya menang.
Pengandaian dalam bentuk protes terhadap syariat semacam ini merupakan karakter orang munafik yang keberatan dengan aturan Allah. Allah ceritakan tentang mereka:

الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“(orang munafik) merekalah yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “ANDAIKAN mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”. Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Ali Imran: 168).

Mereka berandai-andai untuk memprotes keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang melakukan Perang Uhud, karena ketika itu mereka mengalami kekalahan.

Kedua, pengandaian untuk memprotes takdir.
Ulama sepakat hukumnya haram.

Misalnya, seseorang sangat sedih karena kehilangan kesempatan menguntungkan. Kemudian dia berandai-andai: “Andai tadi saya di rumah, pasti saya dapat jatah juga.”
Pengandaian semacam ini juga dilakukan orang-orang munafik, karena tidak tahan dengan ujian berat yang menimpa mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan keadaan mereka:

يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لَا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
Mereka (orang-orang munafik) berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’. Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”. Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (QS. Ali Imran: 154).

Ketiga, pengandaian karena penyesalan akibat musibah yang menimpanya. Hukumnya haram.

Misal, seseorang mengalami kecelakaan, kemudian dia berandai: “Andai saya tadi gak berangkat, kan gak kecelakaan”

احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز، وإن أصابك شيء، فلا تقل لو أني فعلت كان كذا وكذا، ولكن قل قدر الله وما شاء فعل، فإن لو تفتح عمل الشيطان
Semangatlah dalam menggapai apa yang manfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan bersikap lemah. Jangan pula mengatakan: ‘Andaikan aku berbuat demikian tentu tidak akan terjadi demikian’ namun katakanlah: ‘Ini takdir Allah, dan apapun yang Allah kehendaki pasti Allah wujudkan’ karena berandai-andai membuka tipuan setan.” (HR. Muslim 2664)

Keempat, pengandaian karena keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Bukan karena penyesalan atau protes terhadap takdir.

Hukum dari pengandaian ini tergantung dari apa yang diangan-angankan. Jika yang diangankan kebaikan, maka nilainya pahala dan sebaliknya, jika yang diangankan kemaksiatan maka nilainya dosa.

Disebutkan dalam Hadis dari Abu Kabsyah Al-Anmari, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّي أُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ إِنَّمَا هِيَ أَهْلُ الدُّنْيَا أَرْبَعَةُ نَفَرٍ: عَبْدٌ رَزَقَهُ اللهُ فِيهَا مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْمَلُ لِلَّهِ فِيهِ بِحَقِّهِ فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا عَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَتَخَبَّطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْمَلُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٌ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا عَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهِيَ نِيَّتِهُ وَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
Aku sampaikan kepadamu sebuah hadis, mohon dijaga: sesungguhnya penduduk dunia ada 4 macam:
Pertama, hamba yang Allah berikan rezeki berupa harta dan ilmu. Kemudian dia gunakan rezekinya untuk bertaqwa kepada Allah, menyambung silaturahim, menunaikan hak harta untuk Allah. Inilah jenis manusia yang paling mulia.
Kedua, hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak Allah beri harta. Kemudian dia jujur dalam niatnya, dan berangan-angan: ‘Andai aku memiliki harta, maka aku akan beramal seperti yang dilakukan si A (sedekah, zakat, dst)’ Dua orang ini pahalanya sama.
Ketiga, hamba yang Allah berikan harta namun tidak Allah beri ilmu. Kemudian dia habiskan hartanya tanpa ilmu, tidak digunakan untuk bertaqwa kepada Allah, tidak menyambung silaturahim, dan tidak menunaikan haknya untuk Allah. Inilah jenis manusia yang paling jelek.
Hamba yang tidak Allah berikan harta dan ilmu, namun dia berangan-angan, ‘Andaikan saya memiliki harta, akan saya lakukan seperti yang dilakukan si A’. Dua orang ini dosanya sama. (HR. Thabrani, 110)

Kelima, pengandaian untuk hanya sebatas informasi, bukan karena penyesalan atau protes terhadap takdir. hukumnya dibolehkan.

Misal, seseorang mengatakan: “Andai kemarin Anda hadir, Anda akan mendapatkan ceramah yang bermanfaat.”

Waallahu a’lam bishowab

Faktor Penyebab Hijrah Umat Islam

Usai Bai’atul-‘Aqabah kedua, kaum Anshar pun kembali ke Yatsrib/Madinah. Mereka sangat antusias menunggu dan mengharap kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Sementara itu, kaum muslimin yang mendengar kesepakatan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Anshâr juga sudah siap berhijrah ke Yatsrib/Madinah.

FAKTOR PENYEBAB HIJRAH
Hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin ini bukan tanpa alasan. Ada berbagai faktor yang menjadi pemicu untuk melakukan hijrah.
Pertama : Karena adanya siksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Ketika menerima surat Al-Hijr ayat 94,
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik."
Begitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan dakwah secara terbuka, berbagai ancaman mulai diarahkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman yang mengikutinya.
 Ancaman dari kafir Quraisy semakin keras setelah nabi Muhammad Saw kehilangan Abu Thalib dan Siti Khadijah. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpikir untuk mencari perlindungan di luar Makkah. Sehingga terjadilah hijrah kaum muslimin ke Habsyah, Thaif, dan kemudian ke Yatsrib/Madinah.
Penyebab hijrah ini, di antaranya karena penyiksaan dan penindasan kaum kafir Quraisy atas kaum muslimin. Riwayat yang menguatkan faktor ini, tersirat dalam perkataan Bilal Radhiyallahu anhu ketika ia hendak berhijrah:
اللَّهُمَّ الْعَنْ شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ كَمَا أَخْرَجُونَا مِنْ أَرْضِنَا إِلَى أَرْضِ الْوَبَاءِ
Wahai Allah ! Laknatlah Syaibah bin Rabî’ah, ‘Utbah bin Rabî’ah, dan Umayyah bin Khalaf, sebagaimana mereka telah menyebabkan kami keluar dari negeri kami ke negeri derita.[1]
Juga hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang hijrahnya orang tuanya. Beliau Radhiyallahu anhuma berkata:
اسْتَأْذَنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَبُو بَكْرٍ فِي الْخُرُوجِ حِينَ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْأَذَى
Abu Bakr Radhiyallahu anhu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhijrah, ketika penderitaannya terasa berat.[2]
Kedua :Adanya kekuatan yang akan membantu dan melindungi dakwah, sehingga memungkinkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah dengan leluasa. Hal ini sebagaimana tertuang dalam nash Bai’atul-‘Aqabah kedua. Yaitu kaum Anshâr berjanji akan melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana melindungi anak dan istri mereka.
Ketiga : Para pembesar kaum Quraisy dan sebagian besar masyarakat Makkah menganggap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendusta, sehingga mereka tidak mempercayainya. Dengan kondisi seperti ini, maka beliau n ingin mendakwahkan kepada masyarakat lainnya yang mau menerimanya. Banyak dalil yang menunjukkan faktor ini, di antaranya ialah sebagaimana perkataan Sa’ad bin Mu’âdz Radhiyallahu anhu :
اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ مِنْ قَوْمٍ كَذَّبُوا رَسُولَكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَأَخْرَجُوهُ
Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang lebih aku sukai untuk aku jihadi mereka karena-Mu daripada suatu kaum yang telah mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya.[3]
Keempat : Kaum muslimin khawatir agama mereka terfitnah. Ketika ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya tentang hijrah, beliau Radhiyallahu anhuma berkata:
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ
Kaum mukminun pada masa dahulu, mereka pergi membawa agama mereka menuju Allah dan Rasul-Nya karena khawatir terfitnah.[4]
Itulah beberapa faktor yang mendorong kaum muslimin berhijrah, meninggalkan negeri Makkah menuju negeri yang baru, yaitu Madinah. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah Azza wa Jalla .
Khabbab Radhiyallahu anhu berkata:
هَاجَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ نَلْتَمِسُ وَجْهَ اللَّهِ فَوَقَعَ أَجْرُنَا عَلَى اللَّهِ
Kami hijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari wajah Allah, sehingga ganjaran kami benar-benar di sisi Allah Azza wa Jalla.[5]
MENGAPA MEMILIH HIJRAH KE MADINAH?

Nash-nash yang shahîh menunjukkan, pilihan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Madinah sebagai negeri hijrah kaum muslimin, merupakan pilihan yang berdasarkan wahyu ilahi. Sebagaimana hal ini tertera dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أُهَاجِرُ مِنْ مَكَّةَ إِلَى أَرْضٍ بِهَا نَخْلٌ فَذَهَبَ وَهَلِي إِلَى أَنَّهَا الْيَمَامَةُ أَوْ هَجَرُ فَإِذَا هِيَ الْمَدِينَةُ يَثْرِبُ
Aku pernah mimpi berhijrah (pindah) dari Makkah menuju suatu tempat yang ada pohon kurmanya. Lalu aku mengira daerah itu ialah Yamamah atau Hajr (Ahsâ`), (namun) ternyata daerah itu adalah Yatsrib.[6]
Juga hadits:
إِنِّي أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ رَأَيْتُ ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ
Aku diperlihatkan negeri hijrah kalian, yaitu satu negeri yang memiliki pohon kurma di antara dua harrah. [7]
Mendengar penuturan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka kaum muslimin pun kemudian bergegas melakukan hijrah ke Madinah. Begitu juga sebagian kaum muslimin yang sedang berada di Habsyah, mereka segera berangkat menuju Madinah.
YANG PERTAMA KALI BERANGKAT HIJRAH KE MADINAH

Imam Bukhaari[8] menyebutkan, yang pertama kali berangkat hijrah ke Madinah ialah Mush’ab bin Umair dan ‘Abdullah bin Ummi Maktûm. Sedangkan Ibnu Ishâq[9] dan Ibnu Sa’ad[10] menyebutkan, yang pertama kali berhijrah ialah Abu Salamah bin al Asad. Musa bin ‘Uqbah memilih yang kedua.
Ibnu Hajar[11] menyebutkan, di antara hadits-hadits yang dibawakan penulis kitab al-Maghazi, Syiyar, dan hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam al-Bukhâri masih bisa dipertemukan, dengan membawa pengertian “yang pertama kali” pada sisi tertentu. Yaitu Abu Salamah meninggalkan Makkah tidak dengan niatan menetap di Madinah, namun hanya menghindari penindasan kaum kafir Quraisy. Berbeda dengan Mush’ab yang memang sejak awal berniat menetap di Madinah untuk memberi pengajaran kepada penduduk Madinah atas perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Jadi, masing-masing di antara dua orang ini dilihat dari satu sisi. Abu Salamah ialah orang yang pertama kali hijrah ke Madinah untuk menghindari penindasan kaum kafir Quraisy. Sedangkan Mush’ab ialah orang yang pertama kali hijrah ke Madinah dengan niat menetap di Madinah.
Kemudian setelah itu, kaum muslimin berdatangan ke Madinah. Bilal bin Rabbah datang bersama Sa’ad bin Abi Waqâsh dan ‘Ammâr bin Yâsir, kemudian menyusul ‘Umar bin al-Khaththab.
perjalanan hijrah Nabi muhammad



Selain itu, kafir Quraisy merasa bahwa hijrah ke Madinah membuat umat Islam semakin bertambah banyak dan berkembang di tempat hijrahnya dan setiap waktu menjadi ancaman serius bagi mereka dan perdagangan mereka. Karena itu, mereka memutuskan sikap terhadap Nabi Muhammad Saw. yang masih berdiam di Mekkah dengan memilih satu diantara tiga cara:

1. Membiarkan beliau sampai hijrah ke Madinah dengan sendirinya.
2. Memenjarakannya.
3. Membunuhnya.


Pada awalnya mereka memutuskan untuk membiarkan Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah. Tapi keputusan ini tidak akan dapat memecahkan masalah. Karena kepergian Nabi Muhammad Saw. dari Mekkah boleh jadi akan menyiapkan kubu Yatsrib (Madinah) untuk memerangi mereka. Jika mereka memilih kedua yaitu memenjarakannya, akan memicu Umat Islam untuk membebaskannya.

Maka mereka memutuskan untuk membunuh Rasulullah Saw. Para algojo dipilih mereka yang berasal dari seluruh suku. Sampai pada suatu malam, para algojo menyerang rumah Rasulullah dan hendak membunuh beliau saw. Pada saat itulah malaikat pembawa wahyu turun, mengabarkan rencana kafir Quraisy kepada Rasulullah Saw sebagaimana yang dinyatakan dalam al Qur’an,


وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ ۚ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ ۖ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ


Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya untuk menangkap dan memenjarakanmu, membunuhmu, atau mengusirmu (dari Mekkah). Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al-Anfal [8]:30)


 Hanya Ali dan Abu Bakar tetap tinggal di Makkah bersama Nabi. Nabi berencana berhijrah ditemani oleh sahabatnya, Abu Bakar. Beliau memberi tahu Abu Bakar dan sahabatnya itu pun segera mempersiapkan berbagai perlengkapan untuk berhijrah. Pada suatu malam, kaum kafir Quraisy mengintai Nabi dan menjumpai Nabi sedang tidur di atas dipannya yang sederhana. Saat itu, Nabi mengenakan selimut hijau dari Arabia Selatan, tepatnya dari Hadramaut.
Orang-orang musyrik Quraisy merasa tenang, mereka yakin dapat membunuh Nabi malam itu. Rumah Nabi juga dijaga ketat. Mereka tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan pembunuhan terhadap Rasul yang amat dicintai para sahabatnya.
Tanpa mereka ketahui, yang sebenarnya tidur mengenakan Hadramaut adalah Ali bin Abi Thalib. Ali mempertaruhkan jiwanya agar Nabi bisa keluar dari rumah dengan selamat. Hijrah Nabi dilakukan pada tanggal 26 Shafar tahun ketiga belas dari kenabian, bertepatan dengan 9 September 622 M, Nabi berangkat dari rumah untuk berhijrah.
Keberangkatan Nabi dari rumah dilakukan malam hari setelah lewat dua pertiga malam. Nabi ke luar dari rumah, kemudian mengambil segenggam pasir dan melemparkannya kepada orang-orang Quraisy yang akan membunuh Beliau. Dengan takdir Allah, orang-orang Quraisy tersebut tertidur sejenak dan tidak mengetahui Nabi pergi meninggalkan rumahnya.
Kemudian Nabi pergi menuju ke rumah Abu Bakar dan mengajak sahabat menuju ke Gua Tsur untuk mencari tempat persembunyian yang aman sebelum mereka ke Madinah. Pagi harinya, kaum kafir Quraisy berencana untuk menyerang Nabi saat Beliau akan ke luar shalat Subuh. Alangkah terkejutnya mereka saat mereka melihat Ali yang keluar dari rumah Nabi. Ali menolak untuk memberi tahu keberadaan Nabi sehingga mereka bergegas mencari Nabi ke segenap penjuru Makkah.
Setelah tinggal di Gua Tsur kurang lebih selama tiga hari, Nabi dan Abu Bakar al-Siddiq melanjutkan perjalanan berhijrah ke Madinah. Mereka menempuh jalan yang sangat sulit dan bukan jalan biasa yang dilalui orang karena menghindari pengawasan kaum kafir Quraisy.
Nabi dan Abu Bakar ditemani Abdullah bin Uraiqith serta orang kafir penunjuk jalan, Rasulullah SAW. memulai perjalanan ke Madinah lewat jalan yang tak lumrah. mengawal dua ekor unta yang mengangkut Nabi dan sahabatnya yang sangat dicintainya itu. Perjalanan tersebut sangat berat, namun Rasulullah SAW beserta sahabat dapat melaluinya dengan penuh keikhlasan.


RESPON KAUM KAFIR QURAISY TERHADAP HIJRAH KAUM MUSLIMIN

Melihat kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah, bagaimanakah sikap kaum kafir Quraisy?
Pemandangan ini sangat menyakitkan hati kaum kafir Quraisy. Sehingga mendorong mereka melakukan berbagai upaya untuk menghalangi kaum muslimin hijrah. Misalnya dengan menahan harta kaum muslimin dan melarang membawanya. Terkadang dengan menahan dan mengurung sebagian anggota keluarga kaum muslimin. Disamping itu, mereka juga melakukan supaya kaum muslimin yang sudah berada di Madinah kembali ke Makkah.
Namun upaya kaum kafir Quraisy ini tidak membuat kaum muslimin bergeming dari niat semula. Mereka benar-benar sudah siap berpisah dengan harta benda miliknya, keluarganya, dan kenikmatan dunia dan penghidupan lainnya yang telah mereka peroleh di Makkah, demi menyambut panggilan aqidah. Dan sungguh, hijrah ini menjadi pijakan pertama berkibarnya panji tauhid.

Pemindahan Arah Kiblat Umat Islam

Masjid Al-Aqsha menjadi tempat suci ketiga umat Islam setelah Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Hal ini juga diakui oleh Karen Armstrong dalam bukunya yang berjudul Jerusalem; Satu Kota Tiga Iman.Sebelum melaksanakan Mi'raj (naik ke langit), Rasulullah SAW melaksanakan shalat sunnat di masjid Al-Aqsha. Selain itu, masjid Al-Aqsha juga pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum akhirnya datang perintah Allah kepada Rasulullah SAW untuk menghadap kiblat ke Baitullah (ka'bah) di Makkah.

Peristiwa perpindahan arah kiblat terjadi pada bulan Rajab tahun ke-12 pasca Hijrah. Saat Rasulullah melaksanakan shalat Dzuhur kemudian turun wahyu untuk memindahkan arah kiblat. Maka dalam riwayat disebutkan bahwa Nabi sempat shalat 2 rakaat menghadap Baitul Maqdis (masjidil Aqsa) dan 2 rakaat berikutnya menghadap Ka’bah, di masjidil Haram.
Wahyu yang turun tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 144, 
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan,” (QS. Al-Baqarah: 144).
Makna Perpindahan Kiblat
Sementara pertanyaan tentang makna hal itu, sebelum menjawab hal itu. Harus diingatkan berikut ini:

Pertama: Kami sebagai umat Islam, ketika datang perintah Allah kepada kami, maka kami wajib menerima dan berserah diri kepada-Nya –meskipun belum kelihatan hikmahnya kepada kami- sebagaimana firman Allah Ta’ala: 

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا


Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)
Kedua: sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala tidak menghapus suatu hukum melainkan mendatangkan yang lebih baik darinya atau semisalnya. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al-Baqqarah: 106.)
Dalam beberapa keterangan disebutkan, ketika Allah memerintahkan perintah shalat dan menghadap ke Masjid al-Aqsha (Palestina), hal itu dimaksudkan agar menghadap ke tempat yang suci, bebas dari berbagai macam berhala dan sesembahan.
Ketika itu, kondisi Masjid al-Haram (Kabah) yang merupakan tempat keberangkatan Isra’ dan Mi’raj, belum berupa bangunan masjid. Sebab, kala itu masih dipenuhi berhala-berhala yang jumlahnya mencapai 309 buah dan senantiasa disembah oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam. Sehingga, di bawah dominasi kekufuran seperti itu, Rasulullah SAW belum bisa menunai kan ibadah shalat di tempat tersebut.
Selain itu, jika Rasulullah SAW saat itu melaksanakan shalat dengan menghadap ke Masjid al-Haram tentu akan menjadi kebanggaan bagi kaum Quraisy, bahwa Rasulullah SAW seolah mengakui berhala-berhala mereka sebagai tuhan. Inilah salah satu hikmah diperintahkannya shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis (al-Aqsha).
Dalam surah Al Baqarah ayat 142, Allah SWT menjelaskan mengapa perpindahan kiblat itu dilakukan.
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا ۚ قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Orang-orang sufaha diantara manusia akan berkata, “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah, “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”(QS.Al Baqarah ayat 142)
Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan mengenai tafsir ayat ini, yang dimaksud dengan sufaha ialah kaum musrik Arab, para pendeta Yahudi, dan seluruh kaum munafiq, sebab ayat itu bersifat umum. Dahulu Rasulullah saw. Disuruh menghadap ke Baitul Maqdis. Di Mekkah, beliau shalat di antara rukun Yamani dan rukun Syami sehingga Ka`bah berada dihadapannya, namun beliau menghadap ke Baitul Maqdis.
Setelah beliau hijrah ke Madinah, semuanya keberatan untuk menyatukan keduanya. Maka Allah menyuruhnya menghadap ke Baitul Maqdis. Pandangan itu dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama. Kemudian mereka berselisih, apakah perintah itu melalui Al-Qur`an atau melalui yang lainnya? Para ulama terbagi atas dua pandangan. Ikrimah, Abu al-Aliyah, dan Hasan Bashri berpendapat bahwa menghadap Baitul Maqdis adalah hasil ijtihad Nabi SAW.
Maksudnya ialah bahwa menghadap ke Baitul Maqdis dilakukan setelah Nabi SAW tiba di Madinah. Hal itu berlangsung selama 10 bulan. Beliau banyak berdoa dan memohon kepada Allah agar disuruh menghadap ke Ka`bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim. Maka Allah memenuhi doanya dan diperintahkan menghadap ke Ka`bah. Maka Nabi saw. Memberitahukan hal itu kepada Khalayak. Shalat pertama yang menghadap Ka`bah adalah shalat ashar.
Dia berkata, Aku bersaksi dengan nama Allah, Aku benar-benar telah mendirikan shalat bersama Nabi saw sambil menghadap ke Mekkah. Maka orang-orang pun berputar menghadap ke Baitullah”. Menurut Nasa`I shalat itu ialah shalat zuhur di masjid Bani Salamah. Dalam hadits Nuwailah binti Muslim dikatakan (138), “Bahwa sampai kepada mereka berita mengenai peralihan kiblat ketika mereka tengah shalat zuhur. Nuwailah berkata, “Maka jama`ah laki-laki bertukar tempat dengan jama`ah perempuan (untuk menyesuaikan posisi).”Sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain, dari hadits al-Barra` r.a. (137), “Sesungguhnya Rasulullah saw shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan. Beliau merasa heran kalau kiblatnya adalah Baitul Maqdis, sebelum Ka`bah. Shalat pertama menghadap Ka`bah adalah shalat ashar. Beliau shalat bersama orang-orang. Lalu, salah seorang jamaah keluar dari masjid dan menuju para penghuni masjid lainnya yang ternyata sedang ruku`.
Namun berita itu baru sampai kepada penduduk Kuba pada saat shalat fajar. Maka datanglah seorang utusan kepada mereka. Dia berkata (139), “Sesungguhnya pada malam ini telah diturunkan Al-Qur`an kepada Rasulullah saw. Allah menyuruh untuk menghadap Ka`bah, maka menghadaplah kamu kesana. Pada saat itu, wajah mereka menghadap ke Syiria. Maka mereka pun berputar menghadap Ka`bah. Hadits ini mengandung dalil bahwa keterangan yang menasakh tidak dapat ditetapkan hukumnya kecuali setelah diketahui, meskipun telah lama turun dan disampaikan. Karena mereka tidak disuruh mengulangi shalat ashar, maghrib dan isya. Wallahu a`lam.
Tatkala ini terjadi, timbullah pada sebagian kaum musyrik, munafiqin, dan ahli kitab keraguan, penyimpangan dari petunjuk, membungkam dan meragukan kejadian.
Mereka berkata, “Apa yang telah memalingkan mereka dari kiblatnya yang dahulu dipegangnya?” Yakni, apa yang telah membuat mereka kadang-kadang berkiblat ke Baitul Maqdis dan kadang-kadang berkiblat ke Ka`bah?
Maka Allah menurunkan ayat,
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al Baqarah (2): 115).
Yakni kepunyaan Allahlah segala persoalan itu, “Maka kemanapun kamu menghadap, maka disanalah wajah Allah” dan “Kebaktian itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu ketimur atau kebarat, namun kebaktian itu dengan berimannya seseorang kepada Allah.”Yakni kemanapun Allah mengarahkan kita, maka kesanalah kita menghadap. Karena kesempurnaan ketaatan itu adalah dengan menjalankan berbagai perintah-Nya walaupun setiap hari Allah mengarahkan kita ke berbagai arah. Karena kita adalah hamba-Nya dan berada di bawah pengaturan-Nya. Di antara perhatian-Nya yang besar terhadap umat Muhammad ialah Dia menunjukkan mereka ke kiblat al-Khalil Ibrahim a.s. Oleh karena itu, Dia berfirman, “Katakanlah, Kepunyaan Allah lah timur dan barat, Dia menunjukkan orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir)
Dapat ditarik hikmah bahwa perpindahan kiblat tersebut adalah dalam ibadat shalat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan ka’bah itu menjadi tujuan, tetapi wujud berserah diri kepada Allah bukan untuk menyembah ka’bah seperti yang difitnahkan para pecundang pembenci Islam. Mereka menuduh muslim menyembah ka’bah dan Allah hanya ada di sana.
Ka’bah merupakan pemersatu umat Islam dalam menentukan arah kiblat. Sama seperti al-Aqsha yang juga belum berupa bangunan masjid (ketika itu), dan al-Shakhra masih berupa gundukan tanah yang dipenuhi dengan debu. Ini adalah menunjukkan sangat pentingnya persatuan umat Islam.
Menghadap kiblat adalah wujud ketaatan seorang hamba kepada Allah karena memang diperintahkan demikian. Kemanapun arah diperintahkan, maka wajib melaksanakannya sehingga menjadi salah satu syarat syahnya shalat.

Membaca Basmallah dalam Shalat; Jahr Atau Sir? (bagian 2)


Bagaimana hukum mengeraskan basmalah saat membaca Al-Fatihah, apakah suatu kewajiban? Sebagian belum memahami perbedaan dalam masalah ini sehingga menganggap orang lain keliru. Padahal kita sendiri sebenarnya yang belum paham.
Para fuqaha berbeda pendapat dalam hal hukum membaca basmalah bagi imam, makmum dan orang yang shalat sendirian. Perbedaan ini muncul dari masalah apakah basmalah merupakan bagian dari Al-Fatihah ataukah bukan.
Dalam madzhab Hanafiyah, disunnahkan membaca basmalah secara lirih bagi imam dan orang yang shalat sendirian di setiap membaca awal Al-Fatihah di setiap raka’at. Namun tidak disunnahkan membaca basmalah antara Al-Fatihah dan surat lainnya secara mutlak menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf karena menurut mereka basmalah bukan merupakan bagian dari Al-Fatihah. Penyebutan basmalah hanya untuk mengambil berkah (tabarruk).
Yang masyhur dalam madzhab Malikiyah, basmalah bukan bagian dari Al-Fatihah. Sehingga basmalah tidak dibaca dalam shalat wajib yang sirr (Zhuhur dan Ashar) dan jaher (Maghrib, Isya dan Shubuh), baik bagi imam, makmum maupun munfarid (orang yang shalat sendirian).
Pendapat yang paling kuat dalam madzhab Syafi’i, wajib bagi imam dan makmum serta munfarid untuk membaca basmalah dalam setiap raka’at sebelum membaca Al-Fatihah, baik shalat tersebut wajib ataukah sunnah, begitu pula berlaku dalam shalat sirr (Zhuhur dan Ashar) dan shalat jaher (Maghrib, Isya dan Shubuh).
Pendapat yang paling kuat dalam madzhab Hambali, tidak wajib membaca basmalah saat membaca Al-Fatihah, begitu pula surat lainnya di setiap raka’at.
Juga pendapat terkuat dalam madhzab Imam Ahmad, disunnahkan membaca basmalah secara lirih pada dua raka’at pertama dari setiap shalat. Begitu pula basmalah dibaca pada awal surat setelah surat Al-Fatihah, namun lirih. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 8: 86-88)
Adapun ulama yang berdalil bahwa bismillahirrahmanirrahim tidak dikeraskan adalah berdasarkan hadits dari ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membuka shalatnya dengan takbir lalu membaca alhamdulillahi robbil ‘alamin.” (HR. Muslim no. 498).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di ketika menjelaskan hadits di atas dalam ‘Umdah Al-Ahkam, beliau berkata, “Ini adalah dalil bahwa bacaan basmalah tidaklah dijahrkan (dikeraskan).” (Syarh ‘Umdah Al-Ahkam karya Syaikh As-Sa’di, hlm. 161).
Juga dalil lainnya adalah hadits Anas, di mana ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ )
Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga bersama Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman, aku tidak pernah mendengar salah seorang dari mereka membaca ‘ bismillahir rahmanir rahiim’.” (HR. Muslim no. 399).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang sesuai sunnah, basmalah dibaca sebelum surat Al Fatihah dan bacaan tersebut dilirihkan (tidak dikeraskan).” (Kitab Shifat Ash-Shalah min Syarh Al-‘Umdah karya Ibnu Taimiyah, hlm. 105).

Saran kami:

Kalau seseorang menjadi imam untuk jamaah yang belum paham akan masalah mensirrkan (memelankan) bacaan basmalah, baiknya tetap dibaca keras agar lebih menarik hati jama’ah kala itu. Dan masalah ini pun bukan masalah besar yang sampai jatuh pada keharaman. Coba lihat bagaimana contoh dari Syaikh ‘Abdurrahman As-Sudais (imam besar Masjidil Haram Makkah) saat bertamu dan saat memimpin shalat di Masjid Istiqlal yang notabene di negeri kita ini mengambil pendapat madzhab Syafi’i yang mewajibkan membaca basmalah,  beliau tetap mengeraskan bacaan basmalah kala itu.
Semoga pembahasan ini juga semakin membuka pemahaman kalangan yang belum mengetahui adanya beda pendapat dalam masalah ini. Intinya, yang berbeda padahal sama-sama muslim, hendaklah kita berprasangka baik bahwa ia barangkali mempunyai dalil yang belum kita pahami.
Semoga bermanfaat.