Sering kali kita mengucapkan kata andai atau kalau
bahasa jawa mbok mau ora ngene apa mbok mau ora ngono. Ucapan ‘andai‘
atau sikap berandai-andai memiliki beberapa bentuk penggunaan. dan
masing-masing penggunaan memiliki hukum yang berbeda-beda. Berikut
penjelasannya:
Pertama, Pengandaian karena memprotes syariat. Dalam hal ini ulama
sepakat hukumnya haram.
Misal: seseorang mengatakan; andai berjudi itu halal,
tentu aku bisa dapat untung besar. Dia ucapkan semacam ini karena melihat club
sepakbola jagoannya menang.
Pengandaian dalam bentuk protes terhadap syariat
semacam ini merupakan karakter orang munafik yang keberatan dengan aturan
Allah. Allah ceritakan tentang mereka:
الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ
أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“(orang munafik) merekalah yang mengatakan kepada
saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “ANDAIKAN mereka
mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”. Katakanlah: “Tolaklah kematian
itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Ali Imran: 168).
Mereka berandai-andai untuk memprotes keputusan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang melakukan Perang Uhud, karena
ketika itu mereka mengalami kekalahan.
Kedua, pengandaian untuk memprotes takdir.
Ulama sepakat hukumnya haram.
Misalnya, seseorang sangat sedih karena kehilangan
kesempatan menguntungkan. Kemudian dia berandai-andai: “Andai tadi saya di
rumah, pasti saya dapat jatah juga.”
Pengandaian semacam ini juga dilakukan orang-orang
munafik, karena tidak tahan dengan ujian berat yang menimpa mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
menceritakan keadaan mereka:
يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ
إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لَا يُبْدُونَ
لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا
قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ
الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ
وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Mereka (orang-orang munafik) berkata: ‘Apakah ada
bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’. Katakanlah:
“Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka menyembunyikan
dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata:
“Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini,
niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”. Katakanlah: “Sekiranya
kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati
terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat
demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa
yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (QS. Ali Imran:
154).
Ketiga, pengandaian karena penyesalan akibat musibah yang
menimpanya. Hukumnya haram.
Misal, seseorang mengalami kecelakaan, kemudian dia
berandai: “Andai saya tadi gak berangkat, kan gak kecelakaan”
احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز، وإن أصابك
شيء، فلا تقل لو أني فعلت كان كذا وكذا، ولكن قل قدر الله وما شاء فعل، فإن لو
تفتح عمل الشيطان
“Semangatlah dalam menggapai apa yang manfaat
bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan bersikap lemah. Jangan
pula mengatakan: ‘Andaikan aku berbuat demikian tentu tidak akan terjadi
demikian’ namun katakanlah: ‘Ini takdir Allah, dan apapun yang Allah kehendaki pasti
Allah wujudkan’ karena berandai-andai membuka tipuan setan.” (HR. Muslim
2664)
Keempat, pengandaian karena keinginan untuk mendapatkan
sesuatu. Bukan karena penyesalan atau protes terhadap takdir.
Hukum dari pengandaian ini tergantung dari apa yang
diangan-angankan. Jika yang diangankan kebaikan, maka nilainya pahala dan
sebaliknya, jika yang diangankan kemaksiatan maka nilainya dosa.
Disebutkan dalam Hadis dari Abu Kabsyah Al-Anmari,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّي أُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ إِنَّمَا
هِيَ أَهْلُ الدُّنْيَا أَرْبَعَةُ نَفَرٍ: عَبْدٌ رَزَقَهُ اللهُ فِيهَا مَالًا
وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْمَلُ
لِلَّهِ فِيهِ بِحَقِّهِ فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٌ رَزَقَهُ
اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ
أَنَّ لِي مَالًا عَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٌ
رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَتَخَبَّطُ فِي مَالِهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا
يَعْمَلُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٌ لَمْ
يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا
عَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهِيَ نِيَّتِهُ وَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
Aku sampaikan kepadamu sebuah hadis, mohon dijaga:
sesungguhnya penduduk dunia ada 4 macam:
Pertama, hamba yang Allah berikan rezeki berupa harta
dan ilmu. Kemudian dia gunakan rezekinya untuk bertaqwa kepada Allah,
menyambung silaturahim, menunaikan hak harta untuk Allah. Inilah jenis manusia
yang paling mulia.
Kedua, hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak Allah
beri harta. Kemudian dia jujur dalam niatnya, dan berangan-angan: ‘Andai aku
memiliki harta, maka aku akan beramal seperti yang dilakukan si A (sedekah,
zakat, dst)’ Dua orang ini pahalanya sama.
Ketiga, hamba yang Allah berikan harta namun tidak
Allah beri ilmu. Kemudian dia habiskan hartanya tanpa ilmu, tidak digunakan
untuk bertaqwa kepada Allah, tidak menyambung silaturahim, dan tidak menunaikan
haknya untuk Allah. Inilah jenis manusia yang paling jelek.
Hamba yang tidak Allah berikan harta dan ilmu, namun
dia berangan-angan, ‘Andaikan saya memiliki harta, akan saya lakukan seperti
yang dilakukan si A’. Dua orang ini dosanya sama. (HR. Thabrani, 110)
Kelima, pengandaian untuk hanya sebatas informasi,
bukan karena penyesalan atau protes terhadap takdir. hukumnya dibolehkan.
Misal, seseorang mengatakan: “Andai kemarin Anda
hadir, Anda akan mendapatkan ceramah yang bermanfaat.”