Laman

Search This Blog

Postingan Populer

UKHUWAH DAN KERUKUNAN DALAM AL-QUR'AN


Orang-orang mukmin sesungguhnya bersaudara; maka rukunkanlah kedua saudaramu yang berselisih dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (Q.s. Al-Hujurat [49]: 10).


Manusia beriman mempunyai dua dimensi hubungan yang harus selalu dipelihara dan dilaksanakan, yakni hubungan vertikal dengan Allah SwT melalui shalat dan ibadah-ibadah lainnya, dan hubungan horizontal dengan sesama manusia di masyarakat dalam bentuk perbuatan baik. Mukmin niscaya menjaga harmoni, keseimbangan, equilibrium antara intensitas hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Orientasi hubungan vertikal disimbolkan oleh pencarian keselamatan dan kebaikan hidup di akhirat, sedangkan hubungan horizontal diorientasikan pada perolehan kebaikan dan keselamatan hidup di dunia.

Mereka selalu diliputi kehinaan dimana pun mereka berada, kecuali bila mereka berpegang pada tali (janji) dari Allah dan tali (janji) dari manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan selalu diliputi kesengsaraan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa sebab; soalnya, karena mereka durhaka dan melanggar batas (Q.s. Ali Imran [3]: 112).

Interaksi manusia dengan sesamanya harus didasari keyakinan bahwa, semua manusia adalah bersaudara, dan bahwa anggota masyarakat Muslim juga saling bersaudara. Ukhuwah mengandung arti persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Karenanya persamaan dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan, dan persamaan dalam sifat-sifat juga membuahkan persaudaraan.

Faktor penunjang lahirnya persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaan, semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan dalam cita dan rasa merupakan faktor yang sangat dominan yang menjadikan seorang saudara merasakan derita saudaranya. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman berada bersama jenisnya dan dorongan kebutuhan ekonomi bersama juga menjadi faktor penunjang rasa persaudaraan itu. Islam menganjurkan untuk mencari titik singgung dan titik temu, baik terhadap sesama Muslim, maupun terhadap non-Muslim.

Katakanlah, “Wahai Ahli Kitab! Marilah menggunakan istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa kita takkan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Dia; bahwa kita takkan saling mempertuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling, katakanlah, “Saksikanlah bahwa kami orang-orang Muslim [tunduk bersujud pada kehendak Allah] (Q.s. Ali Imran [3]: 64).

Dimensi Ukhuwah Manusia 
Al-Qur’an mengenalkan lima dimensi ukhuwah: (1) persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah), (2) persaudaraan nasab dan perkawinan/semenda (ukhuwah nasabiyah shihriyah), (3) persaudaraan suku dan bangsa (ukhuwah sya’biyah wathaniyah), (4) persaudaraan sesama pemeluk agama (ukhuwah diniyah), (5) persaudaraan seiman-seagama (ukhuwah imaniyah).
Persaudaraan sesama manusia dilandasi oleh kesamaan dan kesetaraan manusia di hadapan Allah SwT.
Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling mengenal [bukan supaya saling membenci, bermusuhan]. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Mahatahu, Maha Mengenal (Q.s. Al-Hujurat [49]: 13).

Ketika pembukaan kota Makkah, Bilal naik ke atas Ka’bah untuk adzan. Seseorang berkata, “Pantaskah budak hitam adzan di atas Ka’bah?” Sahut yang lain, “Jika Allah membenci dia, pasti Ia menggantinya”. Maka turunlah ayat itu.
Seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari ayah dan ibu yang satu. Manusia diturunkan dari sepasang suami-istri. Persaudaraan manusia ditunjukkan oleh sebutan Bani Adam dalam Al-Qur’an sebagai berikut.

Hai anak-anak Adam! Janganlah biarkan setan menggoda kamu seperti perbuatannya mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian supaya mereka memperlihatkan aurat. Ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat dan kamu tak dapat melihat mereka. Kami jadikan setan-setan sekutu orang-orang tak beriman (Q.s. Al-A’raf [7]: 27).

Hai anak-anak Adam! Jika rasul-rasul datang kepadamu dari kalangan kamu sendiri menyampaikan ayat-ayat-Ku, maka mereka yang bertakwa dan memperbaiki diri, tak perlu khawatir, tak perlu sedih (Q.s. Al-A’raf [7]: 35).

Manusia satu dalam ikatan keluarga dan persaudaraan universal yang mendorong masing-masing berpartisipasi pada agenda-agenda kegiatan besar dan luas yang bermanfaat pada semua golongan manusia, antara lain penciptaan keadilan dan perikemanusiaan.
Persaudaraan dalam keturunan dan perkawinan: persaudaraan nasab dan semenda memperoleh legitimasi dari Al-Qur’an dengan kokoh sebagai berikut.
Dialah yang menciptakan manusia dari air; lalu dijadikan-Nya ia berkerabat dan bersanak semenda; dan Tuhanmu Mahakuasa (Q.s. Al-Furqan [25]: 54).

Allah menjadikan buat kamu pasangan-pasangan dari kodratmu sendiri dan Ia menjadikan dari pasangan-pasangan itu anak-anak, laki-laki dan perempuan dan cucu-cucu dan Ia memberikan kepadamu rezeki yang baik-baik. Adakah mereka masih percaya kepada yang batil dan tidak mensyukuri nikmat Allah? (Q.s. An-Nahl [16]: 72).
Hai orang beriman! Jagalah diri kamu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, dijaga para malaikat yang keras dan tegas, tak pernah membangkang apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, dan melaksanakan apa yang diperintahkan (Q.s. At-Tahrim [66]: 6).

Orang-orang beriman niscaya memelihara bukan saja perilaku diri sendiri, tetapi juga perilaku keluarga, dan semua mereka yang dekat karena habungan darah maupun karena hubungan semenda.

Persaudaraan suku dan bangsa memiliki pijakan kuat dalam Al-Qur’an 
Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling mengenal [bukan supaya saling membenci, bermusuhan]. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Mahatahu, Maha Mengenal (Q.s. Al-Hujurat [49]: 13).

Manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Suku, ras dan bangsa mereka merupakan nama-nama untuk memudahkan, sehingga dengan itu kita dapat mengenali perbedaan sifat-sifat tertentu. Di hadapan Allah SwT mereka semua satu, dan yang paling mulia ialah yang paling bertakwa. Antara persaudaraan iman dan persaudaraan nasional atau kebangsaan tidak perlu terjadi persoalan alternatif, ini atau itu, tetapi sekaligus all at once. Seorang Muslim menjadi nasionalis dengan paham kebangsaan yang diletakkan dalam kerangka kemanusiaan universal. Dengan demikian ketika seorang Muslim melaksanakan ajaran agamanya, maka pada waktu yang sama ia juga mendukung nilai-nilai baik yang menguntungkan bangsanya.

Muslim Indonesia harus berjuang menegakkan ukhuwah Ini. Jika tidak, Allah SWT niscaya membinasaan bangsa ini, sebagaimana Ia telah membinasakan bangsa lain yang lebih kuat lalu menggantinya dengan generasi yang lebih baik (QS Fathir/35:44).
Persaudaraan sesama pemeluk agama memperoleh landasannya pada firman Allah,
Katakanlah, “Hai orang-orang tak beriman! Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu pun tak akan menyembah apa yang aku sembah. Dan aku tak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tak akan menyembah apa yang kusembah. Agamamu untuk kamu dan agamaku untukku (QS Al-Kafirun/109:1-6).

Pengakuan keberadaan agama-agama lain tidak berarti pengakuan bahwa agama-agama lain itu benar, tetapi pengakuan hak setiap agama untuk eksis di dalam suatu hubungan sosial yang toleran, saling menghargai, saling membantu dan menghormati, dilandasi prinsip agree in disagreement, setuju dalam perbedaan; persaudaraan dalam perbedaan dan keragaman. Ukhuwah sesama pemeluk agama ini mendorong pemeluk agama untuk tidak sekadar ko-eksistensi, tetapi kooperasi: kerjasama dalam program amaliyah yang lebih praksis, sejak dari tingkat negara, sampai pada rakyat biasa (Nurcholish, 1998).
Pluralitas bangsa, suku bangsa, agama dan golongan merupakan kaidah yang abadi yang berfungsi sebagai pendorong untuk saling berkompetisi dalam melakukan kebaikan, berlomba menciptakan prestasi dan memberikan tuntunan bagi perjalanan bangsa-bangsa dalam menggapai kemajuan dan ketinggian (Muhammad Imarah, 1999).

Persaudaraan seiman-seagama merupakan puncak persaudaraan. 
Orang-orang mukmin sesungguhnya bersaudara; maka rukunkanlah kedua saudaramu yang berselisih dan bertakwalah kepada Allah supya kamu mendapat rahmat (QS Al-Hujurat/49:10).

Persaudaraan mukmin yang satu dengan yang lain merupakan ketetapan syariat. Persatuan, kesatuan dan hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil maupun besar akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka. Untuk menghindarkan keretakan hubungan tersebut, Mukmin niscaya menghindari sikap memperolok pihak atau kelompok lain; menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan atau merendahkan; berprasangka, memata-matai dan menggunjing pihak lain.

Hai orang-orang beriman! Janganlah ada suatu golongan memperolok golongan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok. Juga jangan ada perempuan menertawakan perempuan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok. Janganlah kamu saling mencela dan memberi nama ejekan. Sungguh jahat nama yang buruk itu setelah kamu beriman. Barang siapa tidak bertobat, orang itulah yang zalim. Hai orang-orang beriman! Jauhilah prasangka sebanyak mungkin; karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah saling memata-matai, jangan saling menggunjing. Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tidak, kamu akan merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Allah selalu menerima tobat, dan Maha Pengasih (QS Al-Hujurat/49:11-12).
Nabi Isa AS pernah berkata, “Beruntunglah orang yang menjaga lidahnya, yang memiliki rumah sesuai dengan kebutuhannya, dan yang membersihkan dosa-dosanya.” Pada kesempatan lain Nabi Isa AS bepesan, “…Apa yang tidak kalian inginkan terjadi padamu, janganlah lakukan kepada orang lain. Dalam jalan inilah kalian akan betul-betul saleh di hadapan Tuhan.” (Tarif Khalidi, 2005).

Terlaksananya persaudaraan Muslim merupakan idaman umat Islam. Atas dasar itulah Rasulullah SAW menyampaikan khutbah dalam ibadah haji perpisahan,
“Wahai sekalian manusia! Camkanlah kata-kataku, karena aku tidak tahu apakah tahun depan aku masih diberi lagi kesempatan untuk berdiri di depan kalian di tempat ini.”
“Jiwa dan harta benda kalian adalah suci, dan haram di antara kalian, sebagaimana hari dan bulan ini adalah suci bagi kalian semua, hingga kalian menghadap Allah SWT. Dan ingatlah, kalian akan menghadap Allah, yang akan menuntut kalian atas perbuatan-perbuatan yang kalian lakukan.”

“Wahai manusia! Kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian, dan istri-istri kalian mempunyai hak atas kalian. Perlakukanlah istri-istri kalian dengan cinta dan kasih sayang, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah.”
“Kebangsawanan di masa lalu diletakkan di bawah kakiku. Orang Arab tidak lebih unggul dari bangsa non-Arab, dan bangsa non-Arab tidak lebih unggul atas bangsa Arab. Semua adalah anak Adam, dan Adam tercipta dari tanah.”
“Wahai manusia! Dengar dan pahami kata-kataku! Ketahuilah, bahwasanya sesama muslim adalah saudara. Kalian semua diikat dalam satu persaudaraan. Harta seseorang tidak boleh menjadi milik orang lain kecuali diberikan dengan rela hati. Lindungilah diri kalian dari berbuat aniaya.”

“Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara; selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Dan hendaklah yang hadir di sini menyampaikan kepada orang yang tidak hadir. Siapa tahu, orang yang diberi tahu lebih memahami daripada orang yang mendengarnya.”
Ukhuwah Islamiyah berorientasi pada maslahat keagamaan bersama dengan tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa (QS Al-Maidah/5:2); saling ingat-mengingatkan (QS Al-‘Ashr/103:3); musyawarah (QS Asy-Syura/42:38); sikap proaktif (QS Ali Imran/3:104, QS An-Nisa`/4:85); toleransi (QS Al-Hujurat/49:11), dan keteladanan (QS An-Nisa’/4:85). Normativitas ukhuwah imaniyah tidak menafikan historisitas perselisihan intern umat Mukmin. Maka setiap Mukmin bertanggung jawab mewujudkan persaudaraan seiman dan seagama tersebut.

Teladan Ukhuwah 
Teladan ukhuwah terdapat dalam kehidupan kaum muslimin awal dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Orang-orang yang sebelum mereka bertempat tinggal [di Madinah] dan sudah beriman, dengan penuh kasih sayang menyambut orang yang datang hijrah ke tempat mereka, dan dalam hati mereka tak terdapat keinginan atas segala yang diberikan, dan mereka lebih mengutamakan [Muhajirin] daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kemiskinan (kesulitan). Dan barang siapa yang terpelihara dari kebakhilan dirinya, mereka itulah orang-orang yang berhasil (QS Al-Hasyr/59:9).

Seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW., “Ya Rasulullah, saya lapar.” Rasulullah SAW meminta makanan dari istri-istrinya, akan tetapi tak ada makanan sama sekali. Beliau bersabda kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang bersedia memberi makan tamu pada malam ini?” Seorang Anshar menjawab, “Saya ya Rasulullah.” Ia pun pergi menemui istrinya dan berkata, “Suguhkan makanan pada tamu Rasulullah.” “Demi Allah, tak ada makanan kecuali sedikit untuk anak-anak.” Laki-laki itu berkata, “Tidurkan anak-anak, padamkan lampunya dan hidangkanlah makanan yang ada; biarlah kita menahan lapar pada malam ini.” Esok harinya Nabi SAW bersabda, “Allah kagum dan gembira karena perbuatan kalian.” Lalu turunlah ayat itu.

Abdurrahman bin ‘Auf, salah seorang Muhajirin, ketika tiba di Madinah tidak punya apa-apa lagi. Maka saudaranya, Sa’ad bin Ar-rabi’ dari kalangan Anshar, menawarkan hartanya untuk dibagi dua. Abdurrahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Tidak berapa lama, dengan kecakapannya berdagang ia mencapai kekayaan kembali dan dapat memberikan mas-kawin kepada salah seorang wanita Madinah.

Memperteguh Silaturahmi 
Tulang punggung ukhuwah adalah silaturahmi. Menjalin dan memelihara hubungan keluarga merupakan suatu tuntunan akhlakul karimah dalam Islam yang amat penting.
Hai umat manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan menciptakan darinya pasangannya; dan dari keduanya Ia memperkembangbiakkan sebanyak-banyaknya laki-laki dan perempuan. Bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu selalu meminta dan jagalah hubungan keluarga. Sungguh, Allah selalu mengawasi kamu (QS An-Nisa‘/4:1).

Ayat itu menyebut silaturahmi bersama pesan takwa kepada Allah. Secara tersirat ayat itu menunjukkan bahwa silaturahmi merupakan sesuatu bentuk ketakwaan. Memutuskan silaturahmi melunturkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Silaturahmi juga merupakan salah satu ajaran akhlak Islam paling awal. Ali bin Anbasah berkata, “Saya menemui Nabi SAW di Mekah pada awal kenabiannya dan bertanya kepada beliau: ‘Siapa engkau?’ Beliau menjawab, ‘Nabi.’ Saya bertanya lagi, “Siapakah Nabi?’ Beliau menjawab, ‘Allah mengutusku.’ Saya bertanya sekali lagi, ‘Untuk apa Dia mengutusmu?’ Beliau menjawab, ‘Dia mengutusku untuk memegang teguh tali silaturahim, menghancurkan berhala dan mengajari manusia bahwa Allah adalah Esa dan tiada sesuatu apa pun yang menyamai-Nya.” (HR Muslim).

Suatu saat Abu Sufyan berbincang dengan Heraklius. Raja itu bertanya, “Apa yang diperintahkan oleh Nabimu untuk dikerjakan?” Abu Sufyan menjawab, “Beliau bersabda pada kami, ‘Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun; hentikanlah agama nenek moyangmu.’ Beliau memerintahkan kami untuk berdoa, memberikan sedekah, mensucikan diri dan meneguhkan ikatan keluarga.”
Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku perihal perbuatan baik yang bisa mengantarkan aku masuk surga.” Nabi SAW bersabda, “Beribadahlah kepada Allah dan jangan sekutukan Dia; tegakkanlah shalat fardhu, tunaikan zakat dan berpegang teguhlah pada tali silaturahim.”
Seorang Muslim yang berharap memperoleh nikmat Tuhan dan keselamatan di alam baka akan tergetar hatinya mendengar berita bahwa memutus tali silaturahim itu memutuskan rahmat Allah dan menjadikan doa tidak dikabulkan serta mempercepat hukuman di akhirat. Ibnu Umar sering kali berkata, “Barang siapa yang bertakwa kepada Tuhannya dan memegang teguh tali silaturahim akan merasa hidup lapang, kekayaannya bertambah dan keluarganya akan semakin mencintainya.”

Muslim hendaknya pro-aktif dalam bersilaturahmi. Siapa yang berinisiatif untuk menjaga dan memperbaiki silaturahmi dialah yang lebih baik. Ukhuwah melahirkan kerukunan hidup dan kesetiakawanan sosial. Komunitas Muslim tidak akan diperhitungkan keberadaannya jika tidak memelihara dan membangun jaringan silaturahim.[]

Penulis adalah Guru Besar Tafsir Al-Quran pada Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sumber : 
Majalah Suara Muhammadiyah, 22 Oktober 2007
http://www.pdmbontang.com/cetak.php?id=1093

7 hikmah dan keutamaan berkurban

Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu istimewa, Hari Raya ‘Idul Adha, dimana di hari itu dan hari tasyrik dilakukan penyembelihan hewan qurba. Jika Anda belum memutuskan untuk berkurban tahun ini, ada baiknya Anda menyimak hikmah dan keutamaan qurban pada hari-hari tersebut:



1.       Kebaikan dari setiap helai bulu hewan kurban

Dari Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?" Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim." Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?" Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan."Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?"Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan." [HR. Ahmad dan ibn Majah]

2.       Berkurban adalah ciri keislaman seseorang

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami." [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]

3.       Ibadah kurban adalah salah satu ibadah yang paling disukai oleh Allah

Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah –sebagai qurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya." [HR. Ibn Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan: Hadits ini adalah hasan gharib]

4.       Berkurban membawa misi kepedulian pada sesama, menggembirakan kaum dhuafa

“Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah" [HR. Muslim]

5.       Berkurban adalah ibadah yang paling utama

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah." [Qur’an Surat Al Kautsar : 2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan : “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya."
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurban), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." [Qur’an Surat Al An’am : 162]
Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat…"

6.       Berkurban adalah sebagian dari syiar agama Islam

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)" [Qur’an Surat Al Hajj : 34]

7.       Mengenang ujian kecintaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim


“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." [Qur’an Surat Ash Shaffat : 102 – 107]

Muhasabah di tahun baru Islam

Introspeksi Diri atau Bermuhasabah Dengan memasuki tahun baru Hijriah, kita akan memasuki 1 Muharram. Yang berarti kita akan meninggalkan tahun lalu, dan memasuki tahun baru . Penyambutan tahun baru ini tidak selayaknya seperti yang dilakukan orang-orang non Muslim saat merayakan tahun baru Masehi, tetapi merayakannya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Sekarang kita masih hidup, tetapi siapa tahu besok atau lusa atau minggu depan atau bulan depan atau tahun depan, kita akan mati. Sekarang kita masih dapat menikmati tahun baru Hijriah, tetapi siapa tahu tahun depan kita sudah tidak ada?. Berbahagialah bagi mereka yang memperoleh nikmat umur yang panjang dan mengisinya dengan amalan-amalan yang baik dan perbuatan-perbuatan yang bijak. Rasulullah SAW bersabda : "Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya (HR Ahmad)
Dalam menyambut tahun baru Hijriah, sangat penting bagi kita untuk berkaca diri, menilai dan menimbang amalan-amalan yang telah kita perbuat dan dosa atau maksiat yang telah kita kerjakan. Penilaian ini bukan hanya untuk mengetahui seberapa besar perbuatan amal atau dosa kita, tapi agar tahun mendatang lebih baik dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh serta mengurangi perbuatan dosa dan amal saleh.
Sungguh, batasan umur manusia tidak ada yang mengetahuinya, kecuali hanya Allah SWT semata. Oleh karena keterbatasan tersebut, dan karena rahasia Allah SWT semata, maka marilah kita pergunakan kesempatan hidup ini dengan meningkatkan taqwa kita kepada-Nya dan menambah semangat beramal ibadah yang lebih banyak lagi.

Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram Bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum Muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut. Dalam agama ini, bulan Muharram, merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta'ala berikut.


إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوام


"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At Taubah: 36)
Allah Ta'ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari.
Mengapa Disebut Bulan Haram Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya'la rahimahullah mengatakan, "Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, "Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya." Ibnu 'Abbas mengatakan, "Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah) Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ


"Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam. Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.

Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, "Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah 'Allah' untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut 'Baitullah' (rumah Allah) atau 'Alullah' (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah..

Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu' (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah . Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun." Selamat Tahun Baru Hijriah Semoga hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini Amin

menyikapi berita HOAKS (palsu) menurut islam

Di media sosial akhir-akhir ini semakin marak bertebaran apa yang disebut dengan informasi hoaks. Hoaks dari bahasa Inggris hoax, artinya tipuan, menipu, bohong, palsu atau kabar burung atau belum tentu kebenarannya. Di kehidupan nyata atau di masyarakat juga sering didengar berita bohong. Apalagi adanya ahok effeck (fenomena ahok), berita bohong banyak sekali dishare di internet oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Yang bertujuan untuk menghasut, mengadu domba, menimbulkan perselisihan antar etnis dan agama.
Pernah terjadi baru baru ini, kisah ini benar ada, ada 2 orang (1 muslim dan yang 1 non muslim) yg dulu kerja 1 kantor, tidur di mess, main dan kemana mana bareng, sekarang sudah beda kantor, tapi masih berhubungan lewat fb, gara gara ahok effek, yg non muslim ngeshare berita yg menjelek jelekan islam, trus yg muslim tidak terima, ia membalas komentar juga. Dan yang terjadi dari dulu teman akrab sekarang jadi bermusuhan.

Dalam Wikipedia, hoaks dikatakan sebagai usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengar agar mempercayai sesuatu, padahal si pembuat berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut palsu.

Bagaimana Islam menyikapi terhadap berita bohong ? Di antaranya yang pokok, di dalam surat Al-Hujurat ayat 6 disebutkan:

Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 6).

Pada ayat tersebut terdapat kalimat (fatabayyanuu) artinya “periksalah dengan teliti”. Berarti Allah di dalam kalam suci Al-Quran memerintahkan agar kita meneliti suatu berita dengan cermat, teliti, tidak tergesa-gesa mengiyakan lalu menyebarkannya.

Dalam ayat lain Allah mengingatkan, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. ... (QS. Al-Hujurât :12].

Sebab dari prasangka itu akan meluas dan berkembang penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-walâ` dan al-barâ` (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa pada tahapan saling membunuh.

SABABUN-NUZÛL
/ Penyebab diturunkan ayat ini :

Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Diantaranya Imam Ahmad rahimahullah, ia berkata : “Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: ‘Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu’.”

Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada
waktu yang diinginkan Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang.

Sebenarnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembali kepada Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku,” maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits.

Setelah kedua pasukan bertemu, al-Hârits menghadap
Rasûlullâh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?” Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu,” maka turunlah QS. Al-Hujurât :6 .

KANDUNGAN AYAT

Pertama, perintah kepada orang-orang yang beriman. Artinya sekaligus menunjukkan bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Karena itu, dengan mohon pertolongan Allah kita laksanakan perintan-Nya ini.

Kedua, jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting maka harus diteliti kembali/crosscek.

An-Naba`, artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.

Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. “Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq. [QS. At-Taubah :67].

Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu.

Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat. Al-Qurthubi berkata: “Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.

Ketiga, maka telitilah dulu setiap berita yang datang dan sampai kepada kita. Tentang kalimat ini, ath-Thabari memaknainya: Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya.

Syaikh al-Jazâ`iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat, menyebarkan atau memvonis.

Keempat, agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum
atas dasar kebodohan.

Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.

Kelima, penyesalan. Penyesalan ini akan menimpa seseorang karena memandang suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun. Akhirnya yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi).

Langkah terbaik secara keseluruhan tentunya adalah mengembalikan segala fitnah, berita hoaks itu pada pimpinan kaum Muslimin/Ulil Amri/Imamul Muslimin. Allah mengingatkan di dalam ayat: Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
i syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (Q.S. An-Nisaa [4]: 83). Semoga kita tidak termasuk orang orang yang menyebarkan berita bohong.

Waallahu a’lam bishowab.

Download Murottal Muhammad Thoha Al Junaid

Muhammad Thaha al Junaid adalah salah seorang Qari yang terkenal dengan suara emasnya. Bahkan kadang dijuluki sebagai qari dengan “suara dari syurga” oleh orang-orang arab. Debut pertama Muhammad Thaha al Junaid dimulai dari usia kecil, suaranya yang lembut dan lucu sebagai anak kecil membuatnya banyak disukai oleh banyak orang, terutama oleh anak-anak dan oleh para orang tua yang ingin membiasakan anak-anaknya mendengar al-Qur’an sedari kecil.


Nah, bagi Anda para orang tua yang ingin membiasakan anak-anaknya untuk mendengar lantunan al-Quran sedari kecil, membiasakan mereka mendengar kalamullah agar masuk ke dalam hati dan agar mereka memegang teguh al-Quran di saat mereka dewasa kelak, memperdengarkan Murattal Al-Qur’an untuk anak adalah salah satu trik yang bisa Anda lakukan.
Berikut beberapa link download suara Muhammad Thoha Al-Junaid yang dapat Anda nikmati, sebagiannya dari Juz 30 (Juz Amma)


01 Al-Fatihah DOWNLOAD
78 An - Naba DOWNLOAD
79 An-Naziat DOWNLOAD
80 Abasa DOWNLOAD
81 At-Takwir DOWNLOAD
82 Al-Infitar DOWNLOAD
83 Al-Mutaffifin DOWNLOAD
84 Al-Insyiqaq DOWNLOAD
85_Al-Buruj DOWNLOAD
86_At-Tariq DOWNLOAD
87_Al-Ala DOWNLOAD
88_Al-Ghasiyah DOWNLOAD
89_Al-Fajr DOWNLOAD
90_Al-Balad DOWNLOAD
91_As-ySyams DOWNLOAD
92_Al-Lail DOWNLOAD
93_Adh-Dhuha DOWNLOAD
94_Al-Insyirah DOWNLOAD
95_At-Tin DOWNLOAD
96_Al-Alaq DOWNLOAD
97_Al-Qadr DOWNLOAD
98_Al-Bayyinah DOWNLOAD
99_Az-Zalzalah DOWNLOAD
100_Al-Adiyat DOWNLOAD
101_Al-Qariah DOWNLOAD
102_At-Takatsur DOWNLOAD
103_Al-Ashr DOWNLOAD
104_Al-Humazah DOWNLOAD
105_Al-Fil DOWNLOAD
106_Quraisy DOWNLOAD
107_Al-Maun DOWNLOAD
108_Al-Kautsar DOWNLOAD
109_Al-Kafirun DOWNLOAD
110_An-Nasr DOWNLOAD
111_Al-Lahab DOWNLOAD
112_Al-Ikhlas DOWNLOAD
113_Al-Falaq DOWNLOAD
114_An-Nas DOWNLOAD
Azan DOWNLOAD

Doa Halal Bihalal Kantor 2

Assalamu’alaikum Wr Wb

Untuk bapak dan ibu yang non muslim mohon untuk menyesuaikan dengan keyakinan masing masing

Ya allah , ya tuhan kami,

Segala puji serta syukur tercurah kehadirat-mu atas segala rahmat dan karunia yang telah engkau limpahkan kepada kami , pada saat ini engkau pertemukan kami kembali dalam acara halal bihalal yang diadakan oleh perusahaan kami. Berikanlah kelapangan hati kami untuk saling memaafkan di hari ini.

Untuk itu ya allah ya rahman ya karim jadikanlah acara ini sebagai acara yang engkau ridhai, yang membawa barokah, rahmat, taufiq dan hidayah-mu bagi kami semuanya, dan bagi para pimpinan kami.

Ya allah ya rabbana ya karim.
Kiranya momentum acara ini engkau jadikan sebagai pintu dan jalan bagi turunnya rahmat dan karuniamu atas perusahaan kami yang tercinta ini, sehingga tugas yang merupakan amanah dari-mu, akan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, penuh tanggungjawab serta semangat yang tinggi, demi terwujudnya kemajuan dalam pembangunan perusahaan kami.

Ya allah, jadikan jabatan yang diberikan kepada kami ini sebagai sumber ketenangan bathin bagi kami dan sumber segala kebajikan untuk mencapai ridhamu. Dan janganlah engkau jadikan jabatan ini yang membuat kami lalai dan lengah terhadap peringatan dan seruan mu. Sehingga kami sanggup menjalankan dengan baik setiap amanah yang diberikan oleh pimpinan kami  kepada kami

Ya allah yang maha benar
Pancarkanlah cahaya kebenaran di hati kami, pada pendengaran kami, pada penglihatan kami, pada lidah kami, dan pada semua raga kami, agar kami dapat melihat kebenaran itu tampak jelas benar, dan mampu mengikutinya, serta dapat melihat yang salah itu tampak jelas salah, dan mampu menjauhinya

Ya allah tuhan yang maha mulia
Anugerahkan kami kecerdasan dalam berpikir, kesungguhan dalam berkarya, keikhlasan dalam bekerja dan kemudahan dalam segala urusan kami, agar kami dapat membangun perusahaan kami ini menjadi perusahaan yang maju dan kuat.

Ya allah
Sucikanlah hati kami dari kemunafikan, jauhkan amalan kami dari riya’, bersihkan perkataan kami dari dusta, dan singkirkan dari diri kami, segala niat yang tidak terpuji, Sesungguhnyalah engkau maha mengetahui apa yang tersembunyi dalam dada kami

Ya allah ya tuhan yang maha agung
Kokohkanlah rasa persatuan dan kesatuan di hati kami, janganlah engkau cerai beraikan kami, hilangkanlah rasa dendam dan permusuhan di antara kami, demi terwujudnya keakraban, persaudaraan, kerukunan, kedamaian dan ketentaraman lahir dan bathin. Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-yang yang engkau ridhoi bukan jalan orang-orang yang sesat dan orang-orang yang engkau murkai.

Ya allah
Bukakanlah untuk kami jalan keluar dari segala kesulitan, ajarkan kepada kami apa yang belum kami ketahui dan sempurnakan segala kekurangan yang kami miliki serta penuhilah segala kebutuhan kami. Jadikanlah kami termasuk golongan orang yang senantiasa ingat kepadamu, selalu mensyukuri nikmatmu dan selalu beribadah dan mengabdikan diri kepadamu

Ya allah tuhan yang maha pengampun.
Engkau maha mengetahui, terhadap kelemahan-kelemahan kami, terhadap kekurangan-kekurangan kami. Kepadamulah kami menyembah, kepadamulah kami memohon ampunan,
Ampuni kami ya...Allah.... Ampuni orang tua kami... Ampuni keluarga kami.... Ampuni saudara-saudara kami... Ampuni pemimpin-pemimpin kami.... kabulkanlah doa dan permohonan kami ini. Ya Allah Ya Tuhan



Wassalamu’alaikum Wr Wb

Fiqih Qurban

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied”. Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)
Pengertian Udh-hiyah

Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban

Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)

Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521).
Hukum Qurban

Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:

Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)

Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)

Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban

Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).

Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.

Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?

Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta

Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)

Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?

Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.

(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).

Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).

Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban Kerbau?

Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.

Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.

Pertanyaan:

“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”

Beliau menjawab:

“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)

Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan

Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?

Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?

Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:

    Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
    Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.

Umur Hewan Qurban

Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)

Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:

No. Hewan Umur minimal

1.Onta             5 tahun

2.Sapi              2 tahun

3.Kambing jawa          1 tahun

4.Domba/ kambing gembel    6 bulan (domba Jadza’ah)

(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)

Cacat Hewan Qurban

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:

Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):

    Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
    Sakit dan tampak sekali sakitnya.
    Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
    Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.

Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).

Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):

    Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
    Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.

Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam

(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)

(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan

Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)

Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?

Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:

    Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
    Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
    Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.

Apakah Harus Jantan?

Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)

Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan Bagi yang Hendak Berqurban

Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).

Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?

Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:

    Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)

Waktu Penyembelihan

Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)
Tempat Penyembelihan

Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).

Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Penyembelih Qurban

Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
Tata Cara Penyembelihan

    Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
    Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
    Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
    Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
    Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
        hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
        hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
        Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.

Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?

Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:

    Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
    Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)

Pemanfaatan Hasil Sembelihan

Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:

    Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
    Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
    Dihadiahkan kepada orang yang kaya
    Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.

Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378). Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)
Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?

Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)

Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.

Jawaban Lajnah:

“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)

Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).

Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.

(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan

Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:

من باع جلد أضحيته فلا أضحية له

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)

Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.

Catatan:

    Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
    Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
    Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.

Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)

Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).

Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?

Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:

Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”

Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.

(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit

Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.

Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:

    Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
    Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).

Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?

Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380

Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
    Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
    Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.

Wallaahu waliyut taufiq.



Keutamaan Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah

Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من أيّام العمل الصّالح فيها أحبّ إلى اللّه من هذه الأيّام – يعني أيّام العشر – قالوا : يا رسول اللّه ولا الجهاد في سبيل اللّه ؟ قال : ولا الجهاد في سبيل اللّه ، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله ، فلم يرجع من ذلك بشيء.

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)

Berdasarkan hadis tersebut, ulama’ sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)

Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.
Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?

Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).


Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hissamuddin ‘Affaanah). Wallaahu a’lam.