Sebagian orang pada bingung, puasa Arafah akan ikut siapa? Jika jadwal
wukuf di Arafah dan 9 Dzulhijjah nantinya di tanah air berbeda
Puasa Arafah adalah amalan yang disunnahkan bagi orang yang tidak
berhaji. Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ
يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ
يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى
قَبْلَهُ
“Puasa
Arqfah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun
akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang
lalu.” (HR. Muslim no. 1162)
Penglihatan
Hilal Indonesia Jadi Rujukan
Dari Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Jika
kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka
berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi
30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).
Hilal di
negeri masing-masinglah yang jadi patokan, itulah maksud perintah hadits. Yang
menguatkannya pula adalah riwayat dari Kuraib–, bahwa Ummu Fadhl bintu Al
Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka
menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib
melanjutkan kisahnya, setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan
Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya
melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di
Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat
hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu
melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang
ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab
Kuraib.
Ibnu Abbas
menjelaskan,
لَكِنَّا
رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ
أَوْ نَرَاهُ
“Kalau kami
melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30
hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib
bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya
Muawiyah?”
Jawab Ibnu
Abbas,
لاَ
هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Tidak,
seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada kami.” (HR. Muslim no. 1087).
Ini jadi
dalil bahwa hilal di negeri kita tidak mesti sama dengan hilal Kerajaan Saudi
Arabia, hilal lokal itulah yang berlaku.
Kalau hilal
negara lain terlalu dipaksakan berlaku di negeri ini, coba bayangkan bagaimana
hal ini diterapkan di masa silam yang komunikasinya belum maju seperti saat
ini. Tentu berita wukuf di Arafah sulit sampai ke negeri lain karena terkendalanya
komunikasi. Syariat dulu dan syariat saat ini berlaku sama. Maka kesimpulan
kami, hilal lokal lebih memudahkan kaum muslimin dalam menentukan moment
penting mereka.
Imam Nawawi
rahimahullah membawakan judul untuk hadits Kuraib, “Setiap negeri memiliki
penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak
berlaku untuk negeri lainnya.”
Imam Nawawi
rahimahullah juga menjelaskan, “Hadits Kuraib dari Ibnu ‘Abbas jadi dalil untuk
judul yang disampaikan. Menurut pendapat yang kuat di kalangan Syafi’iyah,
penglihatan rukyah (hilal) tidak berlaku secara umum. Akan tetapi berlaku
khusus untuk orang-orang yang terdekat selama masih dalam jarak belum
diqasharnya shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 175). Namun sebagian ulama
Syafi’iyah menyatakan bahwa hilal internasionallah yang berlaku. Maksudnya,
penglihatan hilal di suatu tempat berlaku pula untuk tempat lainnya. (Lihat
Idem)
Hadits
berikut pun menunjukkan yang jadi patokan adalah hilal. Hilal yang berlaku
adalah di negeri masing-masing.
إِذَا
دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ
شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئً
“Jika telah
masuk 10 hari pertama dari Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian
berkeinginan untuk berkurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) rambut
kepala dan rambut badannya (diartikan oleh sebagian ulama: kuku) sedikit pun
juga.” (HR. Muslim no. 1977)
Karena
larangan yang disebut dalam hadits berlaku jika sudah terlihat hilal
Dzulhijjah, maka demikian pula untuk puasa Arafah berpatokan pada hilal dan
bukan pada wukuf.
Puasa
Arafah Ikut Negeri Masing-Masing
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut,
“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan perbedaan
mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah
kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti
ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh
rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama
apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti
perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti
perbedaan daerah. (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin, 20: 47-48). Baca Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin secara
lengkap di sini.
Kesimpulan
dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, puasa Arafah mengikuti penanggalan
atau penglihatan di negeri masing-masing dan tidak mesti mengikuti wukuf di
Arafah. Kita harus berlapang dada karena para ulama berselisih pula dalam
memberikan jawaban untuk masalah ini. Legowo itu lebih baik.
Wallahu
a’lam, wallahu waliyyut taufiq.
0 comments:
Post a Comment