Orang-orang mukmin sesungguhnya bersaudara; maka rukunkanlah kedua saudaramu yang berselisih dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (Q.s. Al-Hujurat [49]: 10).
Manusia beriman mempunyai dua dimensi hubungan yang harus selalu dipelihara dan dilaksanakan, yakni hubungan vertikal dengan Allah SwT melalui shalat dan ibadah-ibadah lainnya, dan hubungan horizontal dengan sesama manusia di masyarakat dalam bentuk perbuatan baik. Mukmin niscaya menjaga harmoni, keseimbangan, equilibrium antara intensitas hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Orientasi hubungan vertikal disimbolkan oleh pencarian keselamatan dan kebaikan hidup di akhirat, sedangkan hubungan horizontal diorientasikan pada perolehan kebaikan dan keselamatan hidup di dunia.
Mereka selalu diliputi kehinaan dimana pun mereka berada, kecuali bila mereka berpegang pada tali (janji) dari Allah dan tali (janji) dari manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan selalu diliputi kesengsaraan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa sebab; soalnya, karena mereka durhaka dan melanggar batas (Q.s. Ali Imran [3]: 112).
Interaksi manusia dengan sesamanya harus didasari keyakinan bahwa, semua manusia adalah bersaudara, dan bahwa anggota masyarakat Muslim juga saling bersaudara. Ukhuwah mengandung arti persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Karenanya persamaan dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan, dan persamaan dalam sifat-sifat juga membuahkan persaudaraan.
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaan, semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan dalam cita dan rasa merupakan faktor yang sangat dominan yang menjadikan seorang saudara merasakan derita saudaranya. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman berada bersama jenisnya dan dorongan kebutuhan ekonomi bersama juga menjadi faktor penunjang rasa persaudaraan itu. Islam menganjurkan untuk mencari titik singgung dan titik temu, baik terhadap sesama Muslim, maupun terhadap non-Muslim.
Katakanlah, “Wahai Ahli Kitab! Marilah menggunakan istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa kita takkan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Dia; bahwa kita takkan saling mempertuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling, katakanlah, “Saksikanlah bahwa kami orang-orang Muslim [tunduk bersujud pada kehendak Allah] (Q.s. Ali Imran [3]: 64).
Dimensi Ukhuwah Manusia
Al-Qur’an mengenalkan lima dimensi ukhuwah: (1) persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah), (2) persaudaraan nasab dan perkawinan/semenda (ukhuwah nasabiyah shihriyah), (3) persaudaraan suku dan bangsa (ukhuwah sya’biyah wathaniyah), (4) persaudaraan sesama pemeluk agama (ukhuwah diniyah), (5) persaudaraan seiman-seagama (ukhuwah imaniyah).
Persaudaraan sesama manusia dilandasi oleh kesamaan dan kesetaraan manusia di hadapan Allah SwT.
Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling mengenal [bukan supaya saling membenci, bermusuhan]. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Mahatahu, Maha Mengenal (Q.s. Al-Hujurat [49]: 13).
Ketika pembukaan kota Makkah, Bilal naik ke atas Ka’bah untuk adzan. Seseorang berkata, “Pantaskah budak hitam adzan di atas Ka’bah?” Sahut yang lain, “Jika Allah membenci dia, pasti Ia menggantinya”. Maka turunlah ayat itu.
Seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari ayah dan ibu yang satu. Manusia diturunkan dari sepasang suami-istri. Persaudaraan manusia ditunjukkan oleh sebutan Bani Adam dalam Al-Qur’an sebagai berikut.
Hai anak-anak Adam! Janganlah biarkan setan menggoda kamu seperti perbuatannya mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian supaya mereka memperlihatkan aurat. Ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat dan kamu tak dapat melihat mereka. Kami jadikan setan-setan sekutu orang-orang tak beriman (Q.s. Al-A’raf [7]: 27).
Hai anak-anak Adam! Jika rasul-rasul datang kepadamu dari kalangan kamu sendiri menyampaikan ayat-ayat-Ku, maka mereka yang bertakwa dan memperbaiki diri, tak perlu khawatir, tak perlu sedih (Q.s. Al-A’raf [7]: 35).
Manusia satu dalam ikatan keluarga dan persaudaraan universal yang mendorong masing-masing berpartisipasi pada agenda-agenda kegiatan besar dan luas yang bermanfaat pada semua golongan manusia, antara lain penciptaan keadilan dan perikemanusiaan.
Persaudaraan dalam keturunan dan perkawinan: persaudaraan nasab dan semenda memperoleh legitimasi dari Al-Qur’an dengan kokoh sebagai berikut.
Dialah yang menciptakan manusia dari air; lalu dijadikan-Nya ia berkerabat dan bersanak semenda; dan Tuhanmu Mahakuasa (Q.s. Al-Furqan [25]: 54).
Allah menjadikan buat kamu pasangan-pasangan dari kodratmu sendiri dan Ia menjadikan dari pasangan-pasangan itu anak-anak, laki-laki dan perempuan dan cucu-cucu dan Ia memberikan kepadamu rezeki yang baik-baik. Adakah mereka masih percaya kepada yang batil dan tidak mensyukuri nikmat Allah? (Q.s. An-Nahl [16]: 72).
Hai orang beriman! Jagalah diri kamu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, dijaga para malaikat yang keras dan tegas, tak pernah membangkang apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, dan melaksanakan apa yang diperintahkan (Q.s. At-Tahrim [66]: 6).
Orang-orang beriman niscaya memelihara bukan saja perilaku diri sendiri, tetapi juga perilaku keluarga, dan semua mereka yang dekat karena habungan darah maupun karena hubungan semenda.
Persaudaraan suku dan bangsa memiliki pijakan kuat dalam Al-Qur’an
Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling mengenal [bukan supaya saling membenci, bermusuhan]. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Mahatahu, Maha Mengenal (Q.s. Al-Hujurat [49]: 13).
Manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Suku, ras dan bangsa mereka merupakan nama-nama untuk memudahkan, sehingga dengan itu kita dapat mengenali perbedaan sifat-sifat tertentu. Di hadapan Allah SwT mereka semua satu, dan yang paling mulia ialah yang paling bertakwa. Antara persaudaraan iman dan persaudaraan nasional atau kebangsaan tidak perlu terjadi persoalan alternatif, ini atau itu, tetapi sekaligus all at once. Seorang Muslim menjadi nasionalis dengan paham kebangsaan yang diletakkan dalam kerangka kemanusiaan universal. Dengan demikian ketika seorang Muslim melaksanakan ajaran agamanya, maka pada waktu yang sama ia juga mendukung nilai-nilai baik yang menguntungkan bangsanya.
Muslim Indonesia harus berjuang menegakkan ukhuwah Ini. Jika tidak, Allah SWT niscaya membinasaan bangsa ini, sebagaimana Ia telah membinasakan bangsa lain yang lebih kuat lalu menggantinya dengan generasi yang lebih baik (QS Fathir/35:44).
Persaudaraan sesama pemeluk agama memperoleh landasannya pada firman Allah,
Katakanlah, “Hai orang-orang tak beriman! Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu pun tak akan menyembah apa yang aku sembah. Dan aku tak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tak akan menyembah apa yang kusembah. Agamamu untuk kamu dan agamaku untukku (QS Al-Kafirun/109:1-6).
Pengakuan keberadaan agama-agama lain tidak berarti pengakuan bahwa agama-agama lain itu benar, tetapi pengakuan hak setiap agama untuk eksis di dalam suatu hubungan sosial yang toleran, saling menghargai, saling membantu dan menghormati, dilandasi prinsip agree in disagreement, setuju dalam perbedaan; persaudaraan dalam perbedaan dan keragaman. Ukhuwah sesama pemeluk agama ini mendorong pemeluk agama untuk tidak sekadar ko-eksistensi, tetapi kooperasi: kerjasama dalam program amaliyah yang lebih praksis, sejak dari tingkat negara, sampai pada rakyat biasa (Nurcholish, 1998).
Pluralitas bangsa, suku bangsa, agama dan golongan merupakan kaidah yang abadi yang berfungsi sebagai pendorong untuk saling berkompetisi dalam melakukan kebaikan, berlomba menciptakan prestasi dan memberikan tuntunan bagi perjalanan bangsa-bangsa dalam menggapai kemajuan dan ketinggian (Muhammad Imarah, 1999).
Persaudaraan seiman-seagama merupakan puncak persaudaraan.
Orang-orang mukmin sesungguhnya bersaudara; maka rukunkanlah kedua saudaramu yang berselisih dan bertakwalah kepada Allah supya kamu mendapat rahmat (QS Al-Hujurat/49:10).
Persaudaraan mukmin yang satu dengan yang lain merupakan ketetapan syariat. Persatuan, kesatuan dan hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil maupun besar akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka. Untuk menghindarkan keretakan hubungan tersebut, Mukmin niscaya menghindari sikap memperolok pihak atau kelompok lain; menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan atau merendahkan; berprasangka, memata-matai dan menggunjing pihak lain.
Hai orang-orang beriman! Janganlah ada suatu golongan memperolok golongan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok. Juga jangan ada perempuan menertawakan perempuan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok. Janganlah kamu saling mencela dan memberi nama ejekan. Sungguh jahat nama yang buruk itu setelah kamu beriman. Barang siapa tidak bertobat, orang itulah yang zalim. Hai orang-orang beriman! Jauhilah prasangka sebanyak mungkin; karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah saling memata-matai, jangan saling menggunjing. Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tidak, kamu akan merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Allah selalu menerima tobat, dan Maha Pengasih (QS Al-Hujurat/49:11-12).
Nabi Isa AS pernah berkata, “Beruntunglah orang yang menjaga lidahnya, yang memiliki rumah sesuai dengan kebutuhannya, dan yang membersihkan dosa-dosanya.” Pada kesempatan lain Nabi Isa AS bepesan, “…Apa yang tidak kalian inginkan terjadi padamu, janganlah lakukan kepada orang lain. Dalam jalan inilah kalian akan betul-betul saleh di hadapan Tuhan.” (Tarif Khalidi, 2005).
Terlaksananya persaudaraan Muslim merupakan idaman umat Islam. Atas dasar itulah Rasulullah SAW menyampaikan khutbah dalam ibadah haji perpisahan,
“Wahai sekalian manusia! Camkanlah kata-kataku, karena aku tidak tahu apakah tahun depan aku masih diberi lagi kesempatan untuk berdiri di depan kalian di tempat ini.”
“Jiwa dan harta benda kalian adalah suci, dan haram di antara kalian, sebagaimana hari dan bulan ini adalah suci bagi kalian semua, hingga kalian menghadap Allah SWT. Dan ingatlah, kalian akan menghadap Allah, yang akan menuntut kalian atas perbuatan-perbuatan yang kalian lakukan.”
“Wahai manusia! Kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian, dan istri-istri kalian mempunyai hak atas kalian. Perlakukanlah istri-istri kalian dengan cinta dan kasih sayang, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah.”
“Kebangsawanan di masa lalu diletakkan di bawah kakiku. Orang Arab tidak lebih unggul dari bangsa non-Arab, dan bangsa non-Arab tidak lebih unggul atas bangsa Arab. Semua adalah anak Adam, dan Adam tercipta dari tanah.”
“Wahai manusia! Dengar dan pahami kata-kataku! Ketahuilah, bahwasanya sesama muslim adalah saudara. Kalian semua diikat dalam satu persaudaraan. Harta seseorang tidak boleh menjadi milik orang lain kecuali diberikan dengan rela hati. Lindungilah diri kalian dari berbuat aniaya.”
“Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara; selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Dan hendaklah yang hadir di sini menyampaikan kepada orang yang tidak hadir. Siapa tahu, orang yang diberi tahu lebih memahami daripada orang yang mendengarnya.”
Ukhuwah Islamiyah berorientasi pada maslahat keagamaan bersama dengan tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa (QS Al-Maidah/5:2); saling ingat-mengingatkan (QS Al-‘Ashr/103:3); musyawarah (QS Asy-Syura/42:38); sikap proaktif (QS Ali Imran/3:104, QS An-Nisa`/4:85); toleransi (QS Al-Hujurat/49:11), dan keteladanan (QS An-Nisa’/4:85). Normativitas ukhuwah imaniyah tidak menafikan historisitas perselisihan intern umat Mukmin. Maka setiap Mukmin bertanggung jawab mewujudkan persaudaraan seiman dan seagama tersebut.
Teladan Ukhuwah
Teladan ukhuwah terdapat dalam kehidupan kaum muslimin awal dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Orang-orang yang sebelum mereka bertempat tinggal [di Madinah] dan sudah beriman, dengan penuh kasih sayang menyambut orang yang datang hijrah ke tempat mereka, dan dalam hati mereka tak terdapat keinginan atas segala yang diberikan, dan mereka lebih mengutamakan [Muhajirin] daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kemiskinan (kesulitan). Dan barang siapa yang terpelihara dari kebakhilan dirinya, mereka itulah orang-orang yang berhasil (QS Al-Hasyr/59:9).
Seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW., “Ya Rasulullah, saya lapar.” Rasulullah SAW meminta makanan dari istri-istrinya, akan tetapi tak ada makanan sama sekali. Beliau bersabda kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang bersedia memberi makan tamu pada malam ini?” Seorang Anshar menjawab, “Saya ya Rasulullah.” Ia pun pergi menemui istrinya dan berkata, “Suguhkan makanan pada tamu Rasulullah.” “Demi Allah, tak ada makanan kecuali sedikit untuk anak-anak.” Laki-laki itu berkata, “Tidurkan anak-anak, padamkan lampunya dan hidangkanlah makanan yang ada; biarlah kita menahan lapar pada malam ini.” Esok harinya Nabi SAW bersabda, “Allah kagum dan gembira karena perbuatan kalian.” Lalu turunlah ayat itu.
Abdurrahman bin ‘Auf, salah seorang Muhajirin, ketika tiba di Madinah tidak punya apa-apa lagi. Maka saudaranya, Sa’ad bin Ar-rabi’ dari kalangan Anshar, menawarkan hartanya untuk dibagi dua. Abdurrahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Tidak berapa lama, dengan kecakapannya berdagang ia mencapai kekayaan kembali dan dapat memberikan mas-kawin kepada salah seorang wanita Madinah.
Memperteguh Silaturahmi
Tulang punggung ukhuwah adalah silaturahmi. Menjalin dan memelihara hubungan keluarga merupakan suatu tuntunan akhlakul karimah dalam Islam yang amat penting.
Hai umat manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan menciptakan darinya pasangannya; dan dari keduanya Ia memperkembangbiakkan sebanyak-banyaknya laki-laki dan perempuan. Bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu selalu meminta dan jagalah hubungan keluarga. Sungguh, Allah selalu mengawasi kamu (QS An-Nisa‘/4:1).
Ayat itu menyebut silaturahmi bersama pesan takwa kepada Allah. Secara tersirat ayat itu menunjukkan bahwa silaturahmi merupakan sesuatu bentuk ketakwaan. Memutuskan silaturahmi melunturkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Silaturahmi juga merupakan salah satu ajaran akhlak Islam paling awal. Ali bin Anbasah berkata, “Saya menemui Nabi SAW di Mekah pada awal kenabiannya dan bertanya kepada beliau: ‘Siapa engkau?’ Beliau menjawab, ‘Nabi.’ Saya bertanya lagi, “Siapakah Nabi?’ Beliau menjawab, ‘Allah mengutusku.’ Saya bertanya sekali lagi, ‘Untuk apa Dia mengutusmu?’ Beliau menjawab, ‘Dia mengutusku untuk memegang teguh tali silaturahim, menghancurkan berhala dan mengajari manusia bahwa Allah adalah Esa dan tiada sesuatu apa pun yang menyamai-Nya.” (HR Muslim).
Suatu saat Abu Sufyan berbincang dengan Heraklius. Raja itu bertanya, “Apa yang diperintahkan oleh Nabimu untuk dikerjakan?” Abu Sufyan menjawab, “Beliau bersabda pada kami, ‘Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun; hentikanlah agama nenek moyangmu.’ Beliau memerintahkan kami untuk berdoa, memberikan sedekah, mensucikan diri dan meneguhkan ikatan keluarga.”
Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku perihal perbuatan baik yang bisa mengantarkan aku masuk surga.” Nabi SAW bersabda, “Beribadahlah kepada Allah dan jangan sekutukan Dia; tegakkanlah shalat fardhu, tunaikan zakat dan berpegang teguhlah pada tali silaturahim.”
Seorang Muslim yang berharap memperoleh nikmat Tuhan dan keselamatan di alam baka akan tergetar hatinya mendengar berita bahwa memutus tali silaturahim itu memutuskan rahmat Allah dan menjadikan doa tidak dikabulkan serta mempercepat hukuman di akhirat. Ibnu Umar sering kali berkata, “Barang siapa yang bertakwa kepada Tuhannya dan memegang teguh tali silaturahim akan merasa hidup lapang, kekayaannya bertambah dan keluarganya akan semakin mencintainya.”
Muslim hendaknya pro-aktif dalam bersilaturahmi. Siapa yang berinisiatif untuk menjaga dan memperbaiki silaturahmi dialah yang lebih baik. Ukhuwah melahirkan kerukunan hidup dan kesetiakawanan sosial. Komunitas Muslim tidak akan diperhitungkan keberadaannya jika tidak memelihara dan membangun jaringan silaturahim.[]
Penulis adalah Guru Besar Tafsir Al-Quran pada Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sumber :
Majalah Suara Muhammadiyah, 22 Oktober 2007
http://www.pdmbontang.com/cetak.php?id=1093
Manusia beriman mempunyai dua dimensi hubungan yang harus selalu dipelihara dan dilaksanakan, yakni hubungan vertikal dengan Allah SwT melalui shalat dan ibadah-ibadah lainnya, dan hubungan horizontal dengan sesama manusia di masyarakat dalam bentuk perbuatan baik. Mukmin niscaya menjaga harmoni, keseimbangan, equilibrium antara intensitas hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Orientasi hubungan vertikal disimbolkan oleh pencarian keselamatan dan kebaikan hidup di akhirat, sedangkan hubungan horizontal diorientasikan pada perolehan kebaikan dan keselamatan hidup di dunia.
Mereka selalu diliputi kehinaan dimana pun mereka berada, kecuali bila mereka berpegang pada tali (janji) dari Allah dan tali (janji) dari manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan selalu diliputi kesengsaraan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa sebab; soalnya, karena mereka durhaka dan melanggar batas (Q.s. Ali Imran [3]: 112).
Interaksi manusia dengan sesamanya harus didasari keyakinan bahwa, semua manusia adalah bersaudara, dan bahwa anggota masyarakat Muslim juga saling bersaudara. Ukhuwah mengandung arti persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Karenanya persamaan dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan, dan persamaan dalam sifat-sifat juga membuahkan persaudaraan.
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaan, semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan dalam cita dan rasa merupakan faktor yang sangat dominan yang menjadikan seorang saudara merasakan derita saudaranya. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman berada bersama jenisnya dan dorongan kebutuhan ekonomi bersama juga menjadi faktor penunjang rasa persaudaraan itu. Islam menganjurkan untuk mencari titik singgung dan titik temu, baik terhadap sesama Muslim, maupun terhadap non-Muslim.
Katakanlah, “Wahai Ahli Kitab! Marilah menggunakan istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa kita takkan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Dia; bahwa kita takkan saling mempertuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling, katakanlah, “Saksikanlah bahwa kami orang-orang Muslim [tunduk bersujud pada kehendak Allah] (Q.s. Ali Imran [3]: 64).
Dimensi Ukhuwah Manusia
Al-Qur’an mengenalkan lima dimensi ukhuwah: (1) persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah), (2) persaudaraan nasab dan perkawinan/semenda (ukhuwah nasabiyah shihriyah), (3) persaudaraan suku dan bangsa (ukhuwah sya’biyah wathaniyah), (4) persaudaraan sesama pemeluk agama (ukhuwah diniyah), (5) persaudaraan seiman-seagama (ukhuwah imaniyah).
Persaudaraan sesama manusia dilandasi oleh kesamaan dan kesetaraan manusia di hadapan Allah SwT.
Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling mengenal [bukan supaya saling membenci, bermusuhan]. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Mahatahu, Maha Mengenal (Q.s. Al-Hujurat [49]: 13).
Ketika pembukaan kota Makkah, Bilal naik ke atas Ka’bah untuk adzan. Seseorang berkata, “Pantaskah budak hitam adzan di atas Ka’bah?” Sahut yang lain, “Jika Allah membenci dia, pasti Ia menggantinya”. Maka turunlah ayat itu.
Seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari ayah dan ibu yang satu. Manusia diturunkan dari sepasang suami-istri. Persaudaraan manusia ditunjukkan oleh sebutan Bani Adam dalam Al-Qur’an sebagai berikut.
Hai anak-anak Adam! Janganlah biarkan setan menggoda kamu seperti perbuatannya mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian supaya mereka memperlihatkan aurat. Ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat dan kamu tak dapat melihat mereka. Kami jadikan setan-setan sekutu orang-orang tak beriman (Q.s. Al-A’raf [7]: 27).
Hai anak-anak Adam! Jika rasul-rasul datang kepadamu dari kalangan kamu sendiri menyampaikan ayat-ayat-Ku, maka mereka yang bertakwa dan memperbaiki diri, tak perlu khawatir, tak perlu sedih (Q.s. Al-A’raf [7]: 35).
Manusia satu dalam ikatan keluarga dan persaudaraan universal yang mendorong masing-masing berpartisipasi pada agenda-agenda kegiatan besar dan luas yang bermanfaat pada semua golongan manusia, antara lain penciptaan keadilan dan perikemanusiaan.
Persaudaraan dalam keturunan dan perkawinan: persaudaraan nasab dan semenda memperoleh legitimasi dari Al-Qur’an dengan kokoh sebagai berikut.
Dialah yang menciptakan manusia dari air; lalu dijadikan-Nya ia berkerabat dan bersanak semenda; dan Tuhanmu Mahakuasa (Q.s. Al-Furqan [25]: 54).
Allah menjadikan buat kamu pasangan-pasangan dari kodratmu sendiri dan Ia menjadikan dari pasangan-pasangan itu anak-anak, laki-laki dan perempuan dan cucu-cucu dan Ia memberikan kepadamu rezeki yang baik-baik. Adakah mereka masih percaya kepada yang batil dan tidak mensyukuri nikmat Allah? (Q.s. An-Nahl [16]: 72).
Hai orang beriman! Jagalah diri kamu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, dijaga para malaikat yang keras dan tegas, tak pernah membangkang apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, dan melaksanakan apa yang diperintahkan (Q.s. At-Tahrim [66]: 6).
Orang-orang beriman niscaya memelihara bukan saja perilaku diri sendiri, tetapi juga perilaku keluarga, dan semua mereka yang dekat karena habungan darah maupun karena hubungan semenda.
Persaudaraan suku dan bangsa memiliki pijakan kuat dalam Al-Qur’an
Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling mengenal [bukan supaya saling membenci, bermusuhan]. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Mahatahu, Maha Mengenal (Q.s. Al-Hujurat [49]: 13).
Manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Suku, ras dan bangsa mereka merupakan nama-nama untuk memudahkan, sehingga dengan itu kita dapat mengenali perbedaan sifat-sifat tertentu. Di hadapan Allah SwT mereka semua satu, dan yang paling mulia ialah yang paling bertakwa. Antara persaudaraan iman dan persaudaraan nasional atau kebangsaan tidak perlu terjadi persoalan alternatif, ini atau itu, tetapi sekaligus all at once. Seorang Muslim menjadi nasionalis dengan paham kebangsaan yang diletakkan dalam kerangka kemanusiaan universal. Dengan demikian ketika seorang Muslim melaksanakan ajaran agamanya, maka pada waktu yang sama ia juga mendukung nilai-nilai baik yang menguntungkan bangsanya.
Muslim Indonesia harus berjuang menegakkan ukhuwah Ini. Jika tidak, Allah SWT niscaya membinasaan bangsa ini, sebagaimana Ia telah membinasakan bangsa lain yang lebih kuat lalu menggantinya dengan generasi yang lebih baik (QS Fathir/35:44).
Persaudaraan sesama pemeluk agama memperoleh landasannya pada firman Allah,
Katakanlah, “Hai orang-orang tak beriman! Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu pun tak akan menyembah apa yang aku sembah. Dan aku tak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tak akan menyembah apa yang kusembah. Agamamu untuk kamu dan agamaku untukku (QS Al-Kafirun/109:1-6).
Pengakuan keberadaan agama-agama lain tidak berarti pengakuan bahwa agama-agama lain itu benar, tetapi pengakuan hak setiap agama untuk eksis di dalam suatu hubungan sosial yang toleran, saling menghargai, saling membantu dan menghormati, dilandasi prinsip agree in disagreement, setuju dalam perbedaan; persaudaraan dalam perbedaan dan keragaman. Ukhuwah sesama pemeluk agama ini mendorong pemeluk agama untuk tidak sekadar ko-eksistensi, tetapi kooperasi: kerjasama dalam program amaliyah yang lebih praksis, sejak dari tingkat negara, sampai pada rakyat biasa (Nurcholish, 1998).
Pluralitas bangsa, suku bangsa, agama dan golongan merupakan kaidah yang abadi yang berfungsi sebagai pendorong untuk saling berkompetisi dalam melakukan kebaikan, berlomba menciptakan prestasi dan memberikan tuntunan bagi perjalanan bangsa-bangsa dalam menggapai kemajuan dan ketinggian (Muhammad Imarah, 1999).
Persaudaraan seiman-seagama merupakan puncak persaudaraan.
Orang-orang mukmin sesungguhnya bersaudara; maka rukunkanlah kedua saudaramu yang berselisih dan bertakwalah kepada Allah supya kamu mendapat rahmat (QS Al-Hujurat/49:10).
Persaudaraan mukmin yang satu dengan yang lain merupakan ketetapan syariat. Persatuan, kesatuan dan hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil maupun besar akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka. Untuk menghindarkan keretakan hubungan tersebut, Mukmin niscaya menghindari sikap memperolok pihak atau kelompok lain; menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan atau merendahkan; berprasangka, memata-matai dan menggunjing pihak lain.
Hai orang-orang beriman! Janganlah ada suatu golongan memperolok golongan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok. Juga jangan ada perempuan menertawakan perempuan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok. Janganlah kamu saling mencela dan memberi nama ejekan. Sungguh jahat nama yang buruk itu setelah kamu beriman. Barang siapa tidak bertobat, orang itulah yang zalim. Hai orang-orang beriman! Jauhilah prasangka sebanyak mungkin; karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah saling memata-matai, jangan saling menggunjing. Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tidak, kamu akan merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Allah selalu menerima tobat, dan Maha Pengasih (QS Al-Hujurat/49:11-12).
Nabi Isa AS pernah berkata, “Beruntunglah orang yang menjaga lidahnya, yang memiliki rumah sesuai dengan kebutuhannya, dan yang membersihkan dosa-dosanya.” Pada kesempatan lain Nabi Isa AS bepesan, “…Apa yang tidak kalian inginkan terjadi padamu, janganlah lakukan kepada orang lain. Dalam jalan inilah kalian akan betul-betul saleh di hadapan Tuhan.” (Tarif Khalidi, 2005).
Terlaksananya persaudaraan Muslim merupakan idaman umat Islam. Atas dasar itulah Rasulullah SAW menyampaikan khutbah dalam ibadah haji perpisahan,
“Wahai sekalian manusia! Camkanlah kata-kataku, karena aku tidak tahu apakah tahun depan aku masih diberi lagi kesempatan untuk berdiri di depan kalian di tempat ini.”
“Jiwa dan harta benda kalian adalah suci, dan haram di antara kalian, sebagaimana hari dan bulan ini adalah suci bagi kalian semua, hingga kalian menghadap Allah SWT. Dan ingatlah, kalian akan menghadap Allah, yang akan menuntut kalian atas perbuatan-perbuatan yang kalian lakukan.”
“Wahai manusia! Kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian, dan istri-istri kalian mempunyai hak atas kalian. Perlakukanlah istri-istri kalian dengan cinta dan kasih sayang, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah.”
“Kebangsawanan di masa lalu diletakkan di bawah kakiku. Orang Arab tidak lebih unggul dari bangsa non-Arab, dan bangsa non-Arab tidak lebih unggul atas bangsa Arab. Semua adalah anak Adam, dan Adam tercipta dari tanah.”
“Wahai manusia! Dengar dan pahami kata-kataku! Ketahuilah, bahwasanya sesama muslim adalah saudara. Kalian semua diikat dalam satu persaudaraan. Harta seseorang tidak boleh menjadi milik orang lain kecuali diberikan dengan rela hati. Lindungilah diri kalian dari berbuat aniaya.”
“Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara; selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Dan hendaklah yang hadir di sini menyampaikan kepada orang yang tidak hadir. Siapa tahu, orang yang diberi tahu lebih memahami daripada orang yang mendengarnya.”
Ukhuwah Islamiyah berorientasi pada maslahat keagamaan bersama dengan tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa (QS Al-Maidah/5:2); saling ingat-mengingatkan (QS Al-‘Ashr/103:3); musyawarah (QS Asy-Syura/42:38); sikap proaktif (QS Ali Imran/3:104, QS An-Nisa`/4:85); toleransi (QS Al-Hujurat/49:11), dan keteladanan (QS An-Nisa’/4:85). Normativitas ukhuwah imaniyah tidak menafikan historisitas perselisihan intern umat Mukmin. Maka setiap Mukmin bertanggung jawab mewujudkan persaudaraan seiman dan seagama tersebut.
Teladan Ukhuwah
Teladan ukhuwah terdapat dalam kehidupan kaum muslimin awal dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Orang-orang yang sebelum mereka bertempat tinggal [di Madinah] dan sudah beriman, dengan penuh kasih sayang menyambut orang yang datang hijrah ke tempat mereka, dan dalam hati mereka tak terdapat keinginan atas segala yang diberikan, dan mereka lebih mengutamakan [Muhajirin] daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kemiskinan (kesulitan). Dan barang siapa yang terpelihara dari kebakhilan dirinya, mereka itulah orang-orang yang berhasil (QS Al-Hasyr/59:9).
Seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW., “Ya Rasulullah, saya lapar.” Rasulullah SAW meminta makanan dari istri-istrinya, akan tetapi tak ada makanan sama sekali. Beliau bersabda kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang bersedia memberi makan tamu pada malam ini?” Seorang Anshar menjawab, “Saya ya Rasulullah.” Ia pun pergi menemui istrinya dan berkata, “Suguhkan makanan pada tamu Rasulullah.” “Demi Allah, tak ada makanan kecuali sedikit untuk anak-anak.” Laki-laki itu berkata, “Tidurkan anak-anak, padamkan lampunya dan hidangkanlah makanan yang ada; biarlah kita menahan lapar pada malam ini.” Esok harinya Nabi SAW bersabda, “Allah kagum dan gembira karena perbuatan kalian.” Lalu turunlah ayat itu.
Abdurrahman bin ‘Auf, salah seorang Muhajirin, ketika tiba di Madinah tidak punya apa-apa lagi. Maka saudaranya, Sa’ad bin Ar-rabi’ dari kalangan Anshar, menawarkan hartanya untuk dibagi dua. Abdurrahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Tidak berapa lama, dengan kecakapannya berdagang ia mencapai kekayaan kembali dan dapat memberikan mas-kawin kepada salah seorang wanita Madinah.
Memperteguh Silaturahmi
Tulang punggung ukhuwah adalah silaturahmi. Menjalin dan memelihara hubungan keluarga merupakan suatu tuntunan akhlakul karimah dalam Islam yang amat penting.
Hai umat manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan menciptakan darinya pasangannya; dan dari keduanya Ia memperkembangbiakkan sebanyak-banyaknya laki-laki dan perempuan. Bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu selalu meminta dan jagalah hubungan keluarga. Sungguh, Allah selalu mengawasi kamu (QS An-Nisa‘/4:1).
Ayat itu menyebut silaturahmi bersama pesan takwa kepada Allah. Secara tersirat ayat itu menunjukkan bahwa silaturahmi merupakan sesuatu bentuk ketakwaan. Memutuskan silaturahmi melunturkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Silaturahmi juga merupakan salah satu ajaran akhlak Islam paling awal. Ali bin Anbasah berkata, “Saya menemui Nabi SAW di Mekah pada awal kenabiannya dan bertanya kepada beliau: ‘Siapa engkau?’ Beliau menjawab, ‘Nabi.’ Saya bertanya lagi, “Siapakah Nabi?’ Beliau menjawab, ‘Allah mengutusku.’ Saya bertanya sekali lagi, ‘Untuk apa Dia mengutusmu?’ Beliau menjawab, ‘Dia mengutusku untuk memegang teguh tali silaturahim, menghancurkan berhala dan mengajari manusia bahwa Allah adalah Esa dan tiada sesuatu apa pun yang menyamai-Nya.” (HR Muslim).
Suatu saat Abu Sufyan berbincang dengan Heraklius. Raja itu bertanya, “Apa yang diperintahkan oleh Nabimu untuk dikerjakan?” Abu Sufyan menjawab, “Beliau bersabda pada kami, ‘Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun; hentikanlah agama nenek moyangmu.’ Beliau memerintahkan kami untuk berdoa, memberikan sedekah, mensucikan diri dan meneguhkan ikatan keluarga.”
Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku perihal perbuatan baik yang bisa mengantarkan aku masuk surga.” Nabi SAW bersabda, “Beribadahlah kepada Allah dan jangan sekutukan Dia; tegakkanlah shalat fardhu, tunaikan zakat dan berpegang teguhlah pada tali silaturahim.”
Seorang Muslim yang berharap memperoleh nikmat Tuhan dan keselamatan di alam baka akan tergetar hatinya mendengar berita bahwa memutus tali silaturahim itu memutuskan rahmat Allah dan menjadikan doa tidak dikabulkan serta mempercepat hukuman di akhirat. Ibnu Umar sering kali berkata, “Barang siapa yang bertakwa kepada Tuhannya dan memegang teguh tali silaturahim akan merasa hidup lapang, kekayaannya bertambah dan keluarganya akan semakin mencintainya.”
Muslim hendaknya pro-aktif dalam bersilaturahmi. Siapa yang berinisiatif untuk menjaga dan memperbaiki silaturahmi dialah yang lebih baik. Ukhuwah melahirkan kerukunan hidup dan kesetiakawanan sosial. Komunitas Muslim tidak akan diperhitungkan keberadaannya jika tidak memelihara dan membangun jaringan silaturahim.[]
Penulis adalah Guru Besar Tafsir Al-Quran pada Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sumber :
Majalah Suara Muhammadiyah, 22 Oktober 2007
http://www.pdmbontang.com/cetak.php?id=1093